Monday, July 11, 2011

50 tahun mendatang anak kita...

50 tahun yang akan datang, anak-anak kita mungkin sedang mengendalikan dunia dan memenuhi hatinya dengan zikir kepada Allah


50 tahun yang akan datang…

Mungkin kita sudah mati dan jasad kita dikubur entah dimana; atau sedang tua renta sehingga harus berpegangan tongkat untuk berjalan; atau sedang menjemput syahid di jalan Allah di hari yang sama dengan hari ketika kita bertemu sekarang dan jam yang sama dengan jam saat kita berbincang; atau kita sedang menunggu kematian datang dengan kebaikan yang besar dan bukan keburukan. Allahumma amin…

50 tahun yang akan datang…

Anak-anak kita mungkin sudah tersebar di seluruh dunia. Saat itu, mungkin ada yang sedang menggugah inspirasi umat Islam seluruh dunia, berbicara dari Mesir hingga Amerika, dari Al-Makkah al-Mukarramah hingga Barcelona . Ia menggerakkan hati dan melakukan proyek-proyek kebaikan sehingga kota-kota yang pernah terang benderang di zaman keemasan Islam, dari Gibraltar hingga Madrid, dari Istambul hingga Shenzhen, kembali dipenuhi gemuruh takbir saat penghujung malam datang. Sementara siangnya mereka seperti singa kelaparan yang bekerja keras menggenggam dunia. Mereka membasahi tubuhnya dengan keringat karena kerasnya bekerja meski segala fasilitas dunia telah ada, sementara di malam hari mereka membasahi wajah dan hatinya dengan airmata karena besarnya rasa takut pada Allah Ta’ala. Rasa takut yang bersumber dari cinta dan taat kepada-Nya.

Ya, mereka gigih merebut dunia bukan karena gila harta dan takut mati, tetapi karena ingin menjadikan setiap detik kehidupannya untuk menolong agama Allah ‘Azza wa Jalla dengan mengambil fardhu kifayah yang belum banyak tertangani. Gigih bekerja karena mengharap setiap tetes keringatnya dapat menjadi pembuka jalan ke surga.

Kelak (izinkan saya bermimpi) anak-anak kita bertebaran di muka bumi. Meninggikan kalimat Allah, menyeru kepada kebenaran dengan cara yang baik¸ saling mengingatkan untuk menjauhi kemunkaran, dan mengimani Allah dengan benar. Tangannya mengendalikan kehidupan, tetapi hatinya merindukan kematian. Bukan karena jenuh dan berputus asa terhadap dunia, tetapi karena kuatnya keinginan untuk pulang ke kampung akhirat dan mengharap pertemuan dengan Allah dan rasul-Nya.

Mereka inilah anak-anak yang hidup jiwanya. Bukan sekadar cerdas otaknya. Kuat imannya, kuat ibadahnya, kuat ilmunya, kuat himmah-nya, kuat ikhtiarnya, kuat pula sujudnya. Dan itu semua tak akan pernah terwujud jika kita tidak mempersiapkannya, hari ini!

50 tahun yang akan datang…

Anak-anak kita mungkin sedang mengendalikan dunia dan memenuhi hatinya dengan zikir kepada Allah. Mereka mungkin sedang mengendalikan jaringan bisnis besar, supermarket–hypermarket hingga perusahaan-perusahaan manufaktur berteknologi tinggi di seluruh dunia.

Sebagian lainnya mungkin sedang memimpin ma’had putri yang setiap alumninya menjadi penentu sejarah dunia. Bukankah al-ummuh madrasah al-ula (ibu adalah madrasah pertama) yang membentuk karakter dan cara berpikir satu generasi di belakangnya? Maka mempersiapkan visi dan kecakapan seorang ibu sama pentingnya dengan mempersiapkan peradaban umat ini lima tahun ke depan. Membiarkan anak-anak perempuan menyibukkan diri dengan hasrat untuk memperoleh perhatian lawan jenis, seperti mengizinkan masa depan agama dan umat ini hancur.

Anak-anak itu harus dibekali agar kelak mampu menjadi perempuan untuk agama ini; yang setiap tutur katanya akan meninggikan kalimat Allah. Sementara rahimnya, tidaklah akan tumbuh benih di dalamnya kecuali generasi yang sejak awal pertemuan sudah bertabur kalimat suci. Bukankah kepribadian itu terbentuk sejak benih bapak-ibunya bertemu? Bagaimana kedua orangtua mereka mempertemukan benih, sangat mempengaruhi bagaimana benih itu kelak akan tumbuh dan berkembang.

Persiapkan pula anak laki-laki kita agar menjadi pemberani bagi agama ini. Mereka menghiasi hidupnya dengan tangis di malam hari, dan usaha yang gigih di siang hari. Mereka mampu menegakkan kepala dengan ‘izzah (harga diri) yang tinggi di hadapan manusia karena kehormatannya, kemuliaannya, keimanannya, dan kekuatannya. Tetapi terhadap istrinya, sikapnya lembut penuh cinta. Bukankah untuk melahirkan anak-anak yang hebat dan shalih, pintu pertamanya adalah mencintai ibu mereka dengan sepenuh hati?

Ketulusan cinta mampu menggerakkan hati para bunda untuk tak henti-hentinya memberi perhatian. Ia tetap mampu tersenyum di saat anak bangun tengah malam, tepat ketika ia baru saja terlelap, meski ada suami yang mencintainya sepenuh hati sepenuh jiwa. Seorang suami yang bukan hanya memberikan harta, lebih dari itu memberikan perhatian dan kesediaannya berbagi.

‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha menangis kagum kepada suaminya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena perhatiannya yang lembut? Sebagaimana dinukil Ibnu Katsir, ‘Aisyah menangis seraya berucap, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba (Ah, semuanya menakjubkan bagiku),” tatkala ditanya tentang apa yang paling berkesan baginya dari Rasulullah. Ia kemudian bertutur tentang bagaimana Rasulullah meminta izin kepadanya untuk qiyamul-lail. Hanya itu. Tetapi perkara yang kecil itu tak akan hadir jika tak ada perhatian yang besar.

50 tahun yang akan datang…

Di negeri ini… kita mungkin menemui pusara bapak-bapak yang hari ini sedang mewarnai anak-anak kita. Mereka terbujur tanpa nisan tanpa prasasti, sementara hidangan di surga te lah menanti. Atau sebaliknya, beribu-ribu monumen berdiri untuk mengenangnya, sementara tak ada lagi kebaikan yang bisa diharapkan. Mereka menjadi berhala yang dikenang dengan perayaan, tetapi tak ada doa yang membasahi lisan anak-anaknya. Na’udzubillahi min dzalik.

Betapa banyak pelajaran yang bertabur di sekeliling kita; dari orang-orang yang masih hidup atau mereka yang sudah tiada. Tetapi betapa sedikit yang kita renungkan.

Kisah tentang KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang mengulang-ulang pembahasan tentang Al-Maa’uun hingga menimbulkan pertanyaan dari murid-muridnya, masih kerap kita dengar. Jejak-jejak kebaikan berupa rumah sakit, panti asuhan, dan sekolah-sekolah, masih bertebaran. Tetapi jejak-jejak ruhiyah dan idealismenya yang membuatnya bergerak menata akidah umat ini, rasanya semakin sulit kita lacak.

Tulisan pendiri Nahdlatul ‘Ulama, Hadratusy-Syaikh Hasyim Asy’ari, sahabat dekat KH Ahmad Dahlan, masih bisa kita lacak, meski semakin langka. Tetapi jejak-jejak ruhiyah dan idealismenya semakin sulit ditemukan. Apa yang dulu diyakini haram oleh Hadratusy-Syaikh, hari ini justru dianggap wajib oleh mereka yang merasa sebagai pengikutnya.

Apa artinya? Iman tidak kita wariskan, kecuali kalau hari ini kita didik mereka dengan sungguh-sungguh untuk mencintai Tuhannya. Keyakinan, cara pandang, dan idealisme juga tidak bisa kita wariskan ke dalam dada mereka kalau hari ini kita hanya sibuk memikirkan dunianya. Bukan akhiratnya. Atau kita persiapkan mereka menuju akhirat, tetapi kita bekali dengan kekuatan, keterampilan, dan ilmu untuk memenangi hidup di dunia dan menggenggamnya. Betapa banyak anak yang dulu rajin puasa Senin-Kamis, tetapi ketika harus bertarung melawan kesulitan hidup, yang kemudian Senin-Kamis adalah imannya. Kadang ada, kadang nyaris tak tersisa. Na’udzubillahi min dzaalik.

Teringatlah saya dengan perkataan Nabi Ya’qub ‘alaihis-salaam saat menghadapi sakaratul maut. Allah mengabadikannya dalam Surat Al-Baqarah ayat 133:

“Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab, ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail, dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.’”

Ya, “Maa ta’buduuna min ba’diy? (Apakah yang akan kalian sembah sepeninggalku?)” Bukan, “Maa ta’kuluuna min ba’diy? (Apakah yang akan kalian makan sesudah aku tiada?)”

Lalu, seberapa gelisah kita hari ini? Apakah kita sibuk memperbanyak tabungan agar kelak mereka tidak kebingungan cari makan sesudah kita tiada? Ataukah kita bekali jiwanya dengan tujuan hidup, visi besar, semangat menyala-nyala, budaya belajar yang tinggi, iman yang kuat dan kesediaan untuk berbagi karena Allah?

Kita hidupkan jiwanya dengan memberi bacaan yang bergizi, nasihat yang menyejukkan hati, dorongan yang melecut semangat, tantangan yang menggugah, dan dukungan di saat gagal sehingga ia merasa kita perhatikan. Kita nyalakan tujuan hidupnya dengan mengajarkan mereka untuk mengenal Tuhannya. Kita bangun visi besar mereka dengan menghadirkan kisah orang-orang besar sepanjang sejarah; orang-orang shalih yang telah memberi warna kehidupan, sehingga mereka menemukan figur untuk dipelajari, dikagumi, dan dicontoh.

50 tahun mendatang anak-anak kita, hari inilah menentukannya. Semoga warisan terbaik kita untuk mereka adalah pendidikan yang kita berikan dengan berbekal ilmu dan kesungguhan. Kita antarkan pesan-pesan itu dengan cara yang terbaik. Sementara doa-doa yang kita panjatkan dengan tangis dan airmata, semoga menggenapkan yang kurang, meluruskan yang keliru, menyempurnakan yang sudah baik dan di atas semuanya, kepada siapa lagi kita meminta selain kepada-Nya?

Ya Allah, ampunilah aku yang lebih sering lalai daripada ingat, yang lebih sering zhalim daripada adil, yang lebih sering bakhil daripada berbagi karena mengharap ridha-Mu, yang lebih banyak jahil daripada mengilmui setiap tindakan, yang lebih banyak berbuat dosa daripada melakukan kebajikan....

Ya Allah Yang Menggenggam langit dan bumi.... Kalau sewaktu-waktu Engkau cabut nyawaku, jadikanlah ia sebagai penutup keburukan dan pembuka kebaikan. Kalau sewaktu-waktu Engkau cabut nyawaku, jadikan ia sebagai jalan perjumpaan dengan-Mu dan bukan permulaan musibah yang tak ada ujungnya. Jadikan ia sebagai penggenap kebaikan agar anak-anak kami mampu berbuat yang lebih baik untuk agamamu.

Ya Allah, jangan jadikan kami penghalang kebaikan dan kemuliaan anak-anak kami hanya karena kami tak mengerti mereka. Amin. [www.hidayatullah.com]

Penulis : Fauzil adhim

Aku khawatir terhadap suatu masa

Aku khawatir terhadap suatu masa yang roda kehidupannya dapat menggilas iman.

Keimanan hanya tinggal pemikiran, yang tidak berbekas dalam perbuatan.

Banyak orang baik tapi tidak berakal, ada orang berakal tapi tak beriman.

Ada lidah fasih tapi berhati lalai.

Ada yang khusyuk namun sibuk dalam kesendirian.

Ada ahli ibadah tapi mewarisi kesombongan iblis.

Ada ahli maksiat rendah hati bagaikan sufi.

Ada yang banyak tertawa hingga hatinya berkarat dan ada yang banyak menangis karena kufur nikmat.

Ada yang murah senyum tapi hatinya mengumpat dan ada yang berhati tulus tapi wajahnya cemberut.

Ada yang berkata bijak tapi tidak memberi teladan dan ada pelacur yang tampil jadi pujaan.

Ada orang punya ilmu tapi tak paham.

Ada yang paham tapi tak menjalankan aturan.

Ada yang pintar tapi membodohi, ada yang bodoh tak tau diri.

Ada orang beragama tapi tak berakhlak dan ada yang berakhlak tapi tak bertuhan.

Lalu, di antara semua itu, di mana aku berada?

—Ali bin Abi Thalib RA

Monday, May 16, 2011

There is always the first time.

Today, it's my first time riding my motorcycle to the office. I usually took a train or drive occasionally while I'm in the friendly mood or if there's something 'very big' that urged me to do it. And you know what beloved readers?,  you won't believe me. My first impression was good, like it and it's not too bad after all :)

My office (Yes!, my present office! :p) which is in Kuningan is approximately 17 kilometers from Kukusan (about ten and a half miles) It's not quite far or hard enough for a serious well-trained real-biker (maybe they don't even sweat! *lebay*). But! For a fresh-newbie like me, it's a 'hell' :)

Buncit-Kuningan at 9 am is a real battlefield!. Trans Jakarta, Busway separator, Outmoded bus, Bikers, Cars were gathered for a 'fight'. They did everything, in every way to win the 'fight'. This is what I fear most about being in the Jakarta's Street.

But today, since I parked my motorcycle in Basement-4, I felt different. It's not that bad, maybe because there's always the first time for everything.

So readers, gotta go now. I'll write again when I have time. I'll tell you, things happen during my way back home. 

kisanak:~ kisanak$ 

Friday, April 29, 2011

Dalam Doaku

Dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang
semalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening
siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening
karena akan menerima suara-suara

Ketika matahari mengambang tenang di atas kepala,
dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara yang
hijau senantiasa, yang tak henti-hentinya
mengajukan pertanyaan muskil kepada angin
yang mendesau entah dari mana

Dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung
gereja yang mengibas-ibaskan bulunya dalam gerimis,
yang hinggap di ranting dan menggugurkan bulu-bulu
bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan
terbang lalu hinggap di dahan mangga itu

Maghrib ini dalam doaku kau menjelma angin yang
turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat
di jalan dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya
di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku

Dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku,
yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit
yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia
demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi
bagi kehidupanku

Aku mencintaimu.
Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan
keselamatanmu

Sapardi Joko Damono, Hujan Bulan Juni

Monday, April 25, 2011

Bye Twitter

Alhamdulillah, since April 25, 2011, I also decided to close permanently my Twitter Account. So, for those who still miss me and want to 'tweep' me, you can still reach me directly by e-mail, mobile phone or even messenger :)


Wednesday, April 20, 2011

Bye Facebook

Alhamdulillah, since the beginning of March 2011, I decided to close permanently my Facebook Account. So, for those who still miss me and want to contact me, you can still reach me directly by e-mail, mobile phone or even messenger :)

Tuesday, April 19, 2011

Kalau Bosan, Main Catur saja :)

Pernah merasa bosan? atau merasa stuck dalam menghadapi atau menjalani sesuatu? entah itu karena bingung, kurangnya ilmu dan kompetensi, merasa diri sendiri sulit berubah (itu juga kalau masih bisa merasa :p dan bersyukurlah kalau memang bisa) atau sebenarnya sudah give up, tapi kurang jujur dalam menyikapinya atau kurang cerdas dalam menghadapinya?

Tenang, saya sedang tidak bicara masalah mikro pribadi saya di sini, saya lebih senang membicarakan persoalan makro, karena lebih banyak menyangkut hajat hidup orang banyak. Ya, saya sedang berbicara mengenai persekutuan alias Naamloze Vennootschaap :)

Maka jika perasaan itu muncul, menurut teori-teori dalam training motiviasi terkenal, segeralah menarik nafas, do a little process of inhalation and exhalation, rileks lah sejenak, rehat lah, dan jangan lupa tersenyum. Tapi bagi sebagian orang, kadang aksi heroik tersebut dirasa masih kurang membantu, sehingga kadang entah karena panik atau untuk buying time sementara waktu, karena belum tahu harus berbuat apa, mereka malah langsung membuka papan catur :) Lho? Eh, tapi saya sedang tidak bicara soal persekutuan di lapo lho ya. :D karena yang ini lebih mirip persekutuan pabrik kecap dari pada sebuah lapo tuak.

By the way, Anda tahu filosofi catur kan? Ya, salah satu permainan mental itu formasinya adalah: di barisan belakang, terdiri dari raja dan tujuh ajudannya. Di barisan depannya, terdiri dari poin-pion yang berjumlah delapan. Jadi selamanya, pion akan selalu berada di depan dan raja selalu nyaman di belakang. Tak akan pernah terbalik tak akan pernah berubah.

Selain posisi, langkah-langkah dalam permainan ini juga semuanya bergantung pada strategi si Mind Master, the Man behind the Scene. Apakah mau menjalankan pion yang selalu berada di depan atau ajudan yang sedang malas-malasan di belakang. Apakah harus mengorbankan pion Anda atau ajudan Anda sendiri, apakah formasinya sudah pas, apakah perlu ada yang diatur ulang lagi posisinya.

Bidak-bidak itu semuanya sepenuhnya memang mainan Anda, milik Anda. Jadi untuk mereka yang tengah merasa bosan atau suntuk, bermain catur bisa jadi salah satu solusinya. :)

Selamat bermain catur (lagi), karena ini entah sudah untuk ke berapa kalinya, semoga langkah yang Anda ambil kali ini, dapat menyelamatkan Anda dari remis abadi karena tidak bisa skat mat, atau Anda yang malah skak mat karena disebabkan oleh hobby Anda sendiri :)

Catatan kaki penting: agar selalu diingat, bermain catur bukanlah untuk mencari solusi utama Anda, tetapi hanya untuk sekedar menghilangkan rasa bosan dan penat.

So, take it easy and don't take it too seriously or personally. Cheers.

Popular Posts