Walaupun setiap tahun terjadi, ternyata hanya sedikit saja umat Islam yang menyadari. Acara ritual pergantian malam tahun baru yang merupakan malam pergantian tahun masehi selalu dirayakan dengan sepenuh hati; membakar jagung, memanggang ikan, meniup terompet, berkeliling kota, sampai membakar dan menghamburkan uang di petasan dan kembang api. Tidak hanya terjadi di perkotaan, bahkan di desa dan perumahan (dengan emblem "Perumahan Muslim" yang melekat pada namanya pun) tak luput dari perayaan ini.
Secara syar'i, merayakan 1 Muharam saja sudah tidak pernah ada tuntunannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam, apalagi merayakan Malam Tahun Baru Masehi. Semakin hari semakin banyak umat Islam yang tidak tahu, pura-pura tidak tahu bahkan tidak mau tahu. Entah karena ketiadaan ilmu (kenapa tidak mengaji?, membaca buku?, bertanya ke alim ulama?), entah karena agar dibilang bergaul sehingga larut dalam perayaan, entah karena alasan setahun sekali pengen lihat kembang api, disuruh bos bikin acara, alasan nggak enak lah sama ini dan itu, sampai acara bid'ah yang terpaksa diadakan dengan alasan untuk melawan acara duniawi.
Banyak yang berharap dan berdo'a di setiap malam pergantian tahun masehi agar menjadi lebih baik, tapi sesaat setelah perayaan, sholat Shubuh pun lewat karena bangun kesiangan, apakah itu yang dibilang menjadi lebih baik? Bagaimana mau lebih baik?
Umat Islam saat ini menjadi "Generasi Umat Islam Lip Sync dan Banyak Alasan." Karena ucapan dan harapan hanya berhenti di bibir saja, tidak pernah sampai pada perbuatan nyata. Karena ketika ada yang mengingatkan kesalahannya, selalu saja ada alasan baru yang tercipta. Walaupun pada hakikatnya semua hanyalah sebuah justifikasi semata.
Hanya ada dua Hari Raya saja dalam Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha (HR. Abu Dawud no: 1134, dihukumi shahih oleh Al-Albani) Dalam Islam, perayaan hari raya bukanlah hanya sekedar adat, tapi juga ibadah yang sudah diatur tata cara pelaksanaannya, jadi jelas pergantian malam tahun baru masehi bukanlah hari raya yang harus diikuti.
Kita seringkali ingin menjadi hamba yang bersyukur, tapi tidak mau mempelajari ilmunya, termasuk tidak bersyukur adalah ketika salah dalam mengikuti dan memilah mana perayaan yang ada tuntunannya dan mana yang tidak.
Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu, pernah mendengar seseorang berdo’a, “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan yang sedikit." Mendengar itu, Umar bin Khattab Radhiallahu ‘anhu terkejut dan bertanya, “Kenapa engkau berdoa demikian?” Sahabat itu menjawab, “Karena saya mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang bersyukur," makanya aku memohon agar aku termasuk yang sedikit tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu." (QS. At-Tahriim: 6) Sehingga termasuk di dalamnya adalah mulai mengajarkan dan mendidik anak kita untuk tidak mengikuti perayaan apapun yang tidak pernah ada tuntunannya dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam.
Dari Abu Sa‘id Al Khudri, ia berkata: “Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa salam, bersabda: "Sungguh kalian akan mengikuti jejak umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehingga kalau mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalianpun akan masuk ke dalamnya." Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam, apakah kaum Yahudi dan Nasrani?’ Sabda beliau: “Siapa lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kukusan, Depok. 1 Januari 2012.