Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati
Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu
Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati
Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkan nama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya
Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna
Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan
Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya
Lima
Masjid ruh kita bawa ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya
Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya
Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita
Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan
Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya
Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan
Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat
Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah
Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali
Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah
Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan
Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh
Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan
Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
Emha Ainun Nadjib, 1994
If you are not a part of the solution, You are a part of the problem Berbahagialah mereka yang diamnya berfikir, memandangnya mengambil pelajaran, mendengarnya mengambil hikmah dan dalam tindakannya orang mengenal indahnya ajaran Islam.
Thursday, August 16, 2007
Tuesday, July 03, 2007
Haji: Manusia Sejati
Jalaluddin Rakhmat
Arafah, sembilan Dzulhijjah, pada separuh kedua abad pertama Hijrah. Ratusan ribu kaum muslimin berkumpul di sekitar Jabal Rahmah, bukit kasih-sayang. Segera setelah tergelincir matahari, terdengar gemuruh suara zikir dan doa. Ali bin Husain bertanya kepada Zuhri: “Berapa kira-kira orang yang wuquf di sini?” Zuhri menjawab: “Saya perkirakan ada empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya haji, menuju Allah dengan harta mereka dan memanggil-Nya dengan teriakan mereka.” Ali bin Husain berkata: “Hai Zuhri, sedikit sekali yang haji dan banyak sekali teriakan.”
Zuhri keheranan: “Semuanya itu haji, apakah itu sedikit?” Ali menyuruh Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Ia mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat ke sekelilingnya. Ia terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit-jerit. Hanya sedikit manusia di antara kerumunan monyet. Ali mengusap wajah Zuhri kedua kalinya. Ia menyaksikan babi-babi dan sedikit sekali manusia. Pada kali yang ketiga, ia mengamati banyaknya serigala dan sedikitnya manusia. Zuhri berkata: “Bukti-buktimu membuat aku takut. Keajaibanmu membuat aku ngeri.” (Al-Hajj fi Al-Kitab wa Al-Sunnah)
Berkat sentuhan orang yang saleh, Zuhri dapat melihat, walaupun sejenak, ke balik tubuh-tubuh mereka yang wuquf di Arafah. Tuhan menyingkapkan tirai material dan pandangannya menjadi sangat tajam. Ia terkejut dan kebingungan karena begitu banyaknya orang yang tampak pada mata lahir sebagai manusia, dan pada mata batin sebagai binatang. Apakah kebanyakan kita hanyalah manusia secara majazi (kiasan) dan binatang secara hakiki?
Ibadah haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Kehidupan telah melemparkan kita dari kemanusiaan kita. Kita telah jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah. Alih-alih menjadi khalifah Allah, kita telah menjadi monyet, babi dan serigala.
Ketika menafsirkan firman Tuhan: Sungguh, telah Kami ciptakan manusia dalam susunan yang paling baik. Kemudian, Kami mengembalikan mereka pada yang paling rendah dari yang rendah. (QS. Al-Tin: 4-5), Seyyed Hossein Nasr menulis: “Manusia diciptakan dalam susunan yang terbaik. Tetapi kemudian, ia jatuh pada kondisi bumi berupa perpisahan dan keterjauhan dari asal-usulnya yang ilahiah.” (Sufi Essays)
Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar, yang terdengar adalah jeritan pilu, dari pecahan bambu yang ingin kembali ke rumpunnya yang semula. Kita hanya akan hidup sebagai bambu yang sejati bila kita kembali ke tempat awal kita. Kita hanya akan menjadi manusia lagi, bila kita kembali kepada Allah. Sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita kembali. (QS. Al-Baqarah: 156)
Para jemaah haji adalah kafilah seruling yang ingin kembali ke rumpun abadinya. Inilah rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia. Ketika sampai di Miqat, mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya. Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit yang lama agar menjalani kehidupan yang baru. Baju-baju kebesaran, yang sering dipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepaskan. Lambang-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikuburkan dalam lubang bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketika kembali ke “kampung halaman”.
Di Miqat, jemaah haji menanggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia lagi. Manusia ialah makhluk yang secara potensial mampu menyerap seluruh asma Allah. Di Miqat, setelah membersihkan diri dari kotoran-kotoran masa lalunya, seorang haji keluar lagi seperti anak kecil yang baru dikeluarkan dari perut ibunya. Suci dan telanjang. Perlahan-lahan ia mengenakan pakaian kesucian, kejujuran, kerendahan hati, dan pengabdian. Dengan wajah yang diarahkan ke Rumah Tuhan, dengan hati yang sudah dibersihkan dengan taubat yang tulus, ia berkata: “Ya Allah, aku datang memenuhi panggilanMu.”
Di Rumah Tuhan, para haji memperbaharui baiat mereka dengan mencium Hajar Aswad. Mereka berputar bersama para malaikat di sekitar Arasy, menandakan keterikatan kemanusiaan mereka dengan Ketuhanan. Di Arafah, seruling-seruling itu sudah menyatu dengan rumpun bambunya. Al-Hajju ‘Arafah. Di Arafah itulah haji. Di situlah bergabung semua manusia dalam kedalaman lautan ketunggalan Tuhan, fî lujjati bahri ahâdiyyatih.
Berapa banyakkah di antara jutaan orang yang beruntung dapat berhimpun di Arafah adalah haji, manusia yang sudah kembali kepada Tuhannya? Berapa besarkah di antara mereka yang kumpul di Arafah tahun ini yang sudah meninggalkan selama-lamanya sifat-sifat kebinatangannya dan sebagai gantinya menyerap rahman-rahimnya Allah? Kita tidak tahu. Dahulu, ketika umat Islam masih belum mendunia, hanya sedikit yang haji. Dalam pandangan Zuhri, kebanyakan masih bertahan dalam kebinatangan mereka. Kini, kita berdoa, mudah-mudahan mereka semua menjadi haji yang mabrur. Artinya, manusia sejati yang tubuhnya menapak di bumi tapi ruhnya bergantung ke Arasy Tuhan.
Ketika mereka kembali ke tanah airnya, mudah-mudahan mereka menyebarkan berkat ke sekitarnya. Ketulusan hati mereka menusuk jantung orang-orang munafik. Air Zamzam yang mereka bawa menjadi tetes-tetes mukjizat yang mengubah monyet yang licik menjadi manusia yang jujur. Kesucian batin mereka menghantam kepala para pecinta dunia. Air mata mereka keluar membersihkan babi-babi yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia yang dermawan. Akhirnya, kerendahan hati mereka menghantam kepala para tirani pemuja kekuasaan. Cahaya wajah yang sudah disinari Ka’bah mematahkan leher serigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia yang penuh kearifan dan kasih sayang. Betapa perlunya negeri ini dengan kehadiran para haji! []
Thursday, June 28, 2007
Rumah Tuhan, Lamunan Ar-Royyan, Bojong-Surabaya-Malang PP.
Oleh: Bintoro WP.
Surabaya. Sendiri. Malam ini saya terprovokasi tulisan Cak Nun –saya terbiasa memanggilnya demikian sejak 1992 ketika kali pertama saya berjumpa dengan Emha Ainun Nadjib di tabloid Detik, yang dikirim Pak Yahya untuk menulis pengalaman bulan-bulan terakhir, ketika saban minggu pulang ke Bojong. Thx to Pak Yahya, blog Anda begitu inspiratif.
Dalam hati, siapapun yang diberi kesempatan pergi berhaji, hendaknya mampu menjadikan hamparan puing di bekas Arroyyan tak lagi mengganggu mata dan hati saya.
Apa kaitan gerangan Arroyyan dan perjalanan berhaji. Simak ungkapan seorang sufi, ”pada perjalanan haji yang pertama, saya hanya melihat rumah Tuhan. Pada saat yang kedua, saya melihat rumah Tuhan dan pemiliknya. Dan pada saat yang ketiga, saya hanya melihat Tuhan saja” Begitu ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy.
Hadits qudsy yang cukup terkenal berbunyi; Sesungguhnya rumah-Ku di muka bumi adalah Masjid-masjid. Menekankan kepada kita akan pentingya keberadaan dan fungsi masjid-masjid, sebagai rumah Tuhan di alam dunia.
Saya bertanya dalam hati, seperti apa sebenarnya konsep kita tentang rumah Tuhan ini. Entah mengapa, sepulang ngopi dirumah tetangga, saya teringat judul cerpen yang begitu berani. Robohnya Surau Kami, karangan almarhum Ali Akbar Navis yang saya baca ketika awal SMP, dan kini terbit lagi dalam bentuk antologi, oleh Gramedia Pustaka.
Saya terhenyak, Navis bukan hanya piawai dalam penyampaian yang mengharukan. Kisah ini menampar saya tentang perlunya menjaga kelestarian rumah Tuhan melalui acara sosial keagamaan yang bermanfaat serta mampu memancarkan optimisme hidup bagi orang banyak.
Melalui tokohnya, seorang pembual bernama Arjo Sidi—Navis mengajak saya memelihara bangunan rumah Tuhan dari segala potensi bahaya yang mampu merobohkannya. Termasuk di dalamnya kekeroposan pilar keagamaan --iman dan akidah serta kejumudan beragama para pengelola dan jamaaahnya.
Tidak. Arroyyan tidak sama dengan surau yang digambarkan Navis. Warga di komplek ini tidak sama dan sebangun seperti yang ia gambarkan di desanya, tanah Minang sana. Di Bojong, setahu saya, tidak ada pembual seperti Arjo Sidi.
Tapi, dalam cerpen itu Navis sepertinya ingin menandaskan, di saat masjid, musholla, surau, langgar telah dimonopoli oleh tangan segelintir pengelolanya, maka saat itulah hak milik bangunan sebagai rumah bersama, dirampas dari kepemilikan sosial masyarakat secara kolektif. Tidak. Arroyyan tidak akan mungkin demikian.
Istri saya menegur. “Kamu saja jarang menyambangi Arroyyan, sok khawatir. Demikian curiganya kamu. Begitu negatifnya otakmu.”
Tidak. Arroyyan tak mungkin demikian. Tapi, entah kenapa selesai membaca, saya teringat seorang Wiji, marbot Arroyyan yang orang Tingkir itu. Bukan, Wiji bukan marbot seperti kakek yang digambarkan Navis. Saya banyak tahu Wiji ketika menemaninya mengerjakan bale RT.
Malam, minggu berikutnya saya membuka lembar jurnal Ulumul Qur’an, edisi III, 1995. Di halamannya terdapat tulisan Ikun Eska, Sebuah Rumah Buat Tuhan. Saya berharap, saya mendapat jawab, tentang arti sejati dari rumah Tuhan.
Ikun bercerita dengan memikat, bagaimana sebuah masjid di desa Jarot --tokoh cerpen yang berkeinginan mengembalikan fungsi masjid, dalam kenyataan keseharian hanya berguna sebagai tempat ritual yang bersifat seremonial belaka. Pak Kamituwa --wakil dari otoritas penguasa, telah mengunci mati masjid indah itu, dan menjauhkannya dari kebutuhan publik yang tak lain adalah tiang utama dari pembangunan rumah Tuhan tersebut.
Sehingga, kala suatu ketika desa itu dilanda hujan badai, masjid itu tetap tak mampu menjadi penampung yang baik. Masjid Jarot tak dapat menolong warga dari deraan musibah. Banyak korban bergelimpangan di di luar masjid. Dan, di tangan Pak Kamituwa –yang juga simbol dari ortodoksi pemikiran, sebuah masjid yang begitu megah telah menjadi hadiah bagi Tuhan. Hehe, Dzat yang sama sekali tak membutuhkannya. Apalagi hal itu sampai mengorbankan warga --jamaah masjid, sebagai tumbal dari ritual yang tidak pada tempatnya.
Alamak. Bojong tidak ada angin ribut. Atau semoga angin ribut tidak datang ketika Arroyyan belum berdiri megah seperti gambarnya itu. Entah siapa pula yang berimajinasi demikian tinggi, gambarnyapun begitu sulit diakses publik. Eh, boro-boro gambarnya, transparansi pembangunannya pun kini banyak digugat. Konon, intrik juga sempat melanda. Benarkah praktek politik kotor sudah meracuni warga? Cermin dari rusaknya struktur sosial? Tidak, saya menghibur diri.
Di komplek perumahan Gaperi yang jalannya hancur dan warganya tak bernyali menagih developer itu, kami siap bahu membahu menolong sesama. Tidak, tak ada pula tokoh macam Pak Kamituwa seperti Ikun lukiskan. Yang ada Pak Eman yang sekampung dengan Cak Nun dan doyan gaple itu.
Esok paginya, saya mendapati bapak. Ayah saya yang stroke dan kini memilih meninggali rumah samping Pak Saerang. Di bale bambu Bapak menggenggam buku. Tak berani saya mengganggu. Ketika berhaji 1997, tendanya ikut terbakar.
Pak, seperti apa konsep rumah Tuhan itu?
Dia tersenyum, seperti mampu membaca pikiran saya. Ia mengutip Buya Hamka, “rumah Tuhan mesti bisa berfungsi sebagai tempat introspeksi dimana semua orang nyaman bertafakkur dan memohon kepada Tuhan untuk menganugerahkan kesabaran dan keteguhan dalam mengarungi kehidupan.”
Sederhana. Bapak juga mengutip kutipan yang lebih lugas dari Najib Mahmud dalam buku Ru’yah Islamiyah, “masjid yang sejati terbangun dalam nurani,” katanya dengan lafal lidah tpikal penderita stroke, pelo dan cadel. Hiyaa!
Saya bertambah kalut. Bagaimana mungkin Arroyyan, masjid yang jarang saya sambangi itu mampu mengusik saya. Bangunan Arroyyan dengan bilik bambu medio 1997 sekelebat terlintas memenuhi isi kepala yang makin hari makin tipis berambut. Saya tahu, kenapa Arroyyan bambu lebih lama tinggal di memori. Pak Zainal, Pak Budi Wibowo dan Pak Hendro pernah menyenggol, “dulu semua orang butuh, semangat kebersamaannya ketika itu luar biasa pak.” Aha, kiranya semangat kebersamaan itulah yang mampu memberi ruh Arroyyan bambu? Hiyaa! Masjid yang sejati terbangun dalam nurani.
Kembali ke rumah. Entah mengapa saya teringat Gus Mus di Rembang. Dua minggu sebelum Soeharto jatuh, saya sempat berdiskusi mengenai maraknya masjid dibangun di sepanjang daerah miskin pantura Jawa. Saya hanya ingin tahu, bagaimana mungkin orang giat membangun masjid megah sementara sekelilingnya warga kesulitan mencari makan.
Ia menerangkan tentang pasokan dana dan sebagainya. Tapi yang menampar saya ketika itu, KH. Mustofa Bisri –nama lengkap Gus Mus, juga mengungkapkan keresahannya. Bahwa menjamurnya masjid dengan bentuk fisik yang serba megah di mana-mana, pada derajat tertentu, malah kian mengasingkan para jamaah untuk masuk ke dalamnya. "Masjid menjadi semakin tertutup, begitu pula para pengelolanya, eksklusif menikmati singgasananya".
Di balik kemegahannya, bayangan biaya pembangunan dan anggaran perawatan membuat khalayak sering dihinggapi semacam rasa sungkan, malu dan rendah diri untuk berlama-lama di dalamnya. “Makanya, wajar bila Nabi dalam sebuah haditsnya pernah menggambarkan bahwa salah satu tanda-tanda kiamat adalah gejala saling bermegah-megahan dalam membangun masjid,” kata Gus Mus suatu malam.
Satu sisi Gus Mus benar. Tapi Arroyyan bukan hanya membangun masjid. TPA dibawah bendera lembaga pendidikan dan koperasi dibawah bendera lembaga usaha katanya juga akan diakomodasi dalam bangunan itu. Jadi wajar saja membangun dengan menyedot ratusan juta. Tapi, secara imajiner, senyum Gus Mus malam ini seperti meledek.
Seorang kawan se komplek perumahan menyenggol lewat Yahoo! Messenger beberapa hari yang lalu. Kita tuh banci Pak. Kok gak fokus? Mau bangun apa sebenarnya kita ini? Seharusnya kita malu dengan Assalam di kampung depan itu. Struktur organisasi mereka simply, santai aja tuh mereka beragamanya.
Tetangga lain nimbrung. Pak, kenapa ya kita tidak serahkan sesuatu hal kepada ahlinya, kok kita malu mengakui kompetensi orang? Bukankah pendelegasian yang baik adalah kunci sukses seorang pemimpin? Saya buru-buru sign out, ingin segera pulang membungkam mulut mereka. Jikapun tidak, ingin rasanya menghajar pantat mereka untuk lebih berani mengutarakannya kepada yang berwenang. Ampun.
Cak Nun, jika saja mampu berhaji, saya bukan haji racun seperti yang sampean maklumkan. Ah, kenapa saya takabur begini rupa. Insya Allah tidak Cak. Minimal, saya punya modal, selalu membelikan kerabat maupun kenalan buku Menjadi Manusia Haji karangan Dr. Ali Syari’ati setiap kali mereka hendak berhaji. Saya ingat betul tentang telaah sosial dan filosofis yang ia gambarkan dalam ritual kolosal umat Islam tiap tahunnya. Rumah Tuhan adalah rumah umat manusia.
Farah Amini, karib sejawat di kantor, orang terakhir yang saya beri. Dia berumroh dua minggu lalu. Semalam dia menelpon dari kantor barunya di Menara Kadin, Kuningan. Berdiskusi dan melaporkan perjalanannya. "Minimal kini saya tahu Mas, kenapa Ka'bah tidak dibongkar!" Sebelumnya Pak Zainal, kawan saya ngopi di rumah dengan harapan agar ia segera berangkat.
Saya teringat ketika ayah berhaji, beberapa bulan sebelum saya menikah, saya menangis sejadinya karena buku itu. Berhaji berarti bersiap mati, sehingga setelah berhaji orang seperti dilahirkan kembali.
Ali Syari’ati dan sanak kerabat –NU atau Muhammadiyah atau apapun mazhabnya yang pernah berhaji bersepakat memberi kesaksian, drama monumental Haji adalah momentum yang pas dan kontekstual untuk menggugat kembali kesadaran manusia dalam pergaulannya dengan rumah Tuhan.
Pada hakekatnya, haji merupakan perjalanan ritual yang sepenuhnya tak bisa lepas dari nuansa kemanusiaan. Selain perjumpaan dengan pengalaman spiritual yang mengesankan, di dalamnya juga dipenuhi beragam ujian berupa rajukan setan yang selalu berusaha menggelincirkan setiap pelakunya. Haji adalah serangkaian perisitiwa dengan aneka makna. Ia bisa berupa sekadar kejadian biasa dalam dimensi yang sarat dengan hasrat dan denyut nadi kemanusiaan, juga bisa berwujud sederetan tragedi yang konyol, memukau, haru biru, kelabu dan bahkan lucu.
Pada titik ini, Alm. Navis dan Ikun, juga pengalaman kita semua di kampung halaman dan masa kecil, dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi dinamika dan penyadaran hidup keagamaan.
Sekali lagi Cak, jika saja saya berhaji, saya ingin menjadi bagian dari gempita kepasrahan kolosal yang membahana itu. Saya tahu, sebagai pelaku, saya terlibat untuk menyaksikan secara langsung napak tilas sejarah beserta situs peradaban yang bernilai religi itu.
Sebab, kata Ali Syari’ati, keberadaan Ka’bah atau Baitullah tak dapat disangkal merupakan simbol yang memiliki daya pikat paling kuat dibandingkan simbol-simbol yang lain. Selain sebagai kiblat shalat, Ka’bah merupakan lambang dari kekuatan tauhid – monoteisme, yang obornya dinyalakan oleh Ibrahim. Ia tidak hanya cukup didekati dengan cara berkeliling di sekitarnya. Lebih dari itu ia membutuhkan simpul tali keagamaan yang kuat dalam upayanya untuk mengakrabkan hubungan hamba dengan penciptanya. Bukan begitu Cak? Taraf kedekatan semacam inilah yang diidealkan pencapaiannya oleh para pelaku haji, sebagaimana telah dirasakan melalui ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy diatas.
Seketika saya ingin mengadu kegundahan kepada Suami Novia Kolopoking ini –kawan SMA adik saya. Tapi dia kini tengah sibuk mengadvokasi saudara-saudara korban Lapindo. Sekalipun sama-sama di Surabaya, saya begitu sulit menemuinya.
Saya tumpahkan kegundahan saya kepada Pak Arief Lukman Hakiem. Kawan sekantor yang berasal dari Madura. Jago masalah tanah dan pertanian, dan sempat beberapa tahun berguru di Jerman. Dua jam lebih kegundahan ini dan silang sengkarut pikiran tentang Arroyyan, Bojong, Navis dan Ikun saya pindahkan ke kepalanya.
“Mas tahu, apa yang dilakukan ketika Nabi pertama kali menginjakkan kaki di Yatsrib, sekarang Madinah?” tanyanya. Dengan gaya maduranya, dia menjawab sendiri. Pertama, sebelum Nabi Muhammad menginjakkan kakinya di Madinah, maka Beliau membangun masjid, yakni masjid Quba. Kedua, tindakan mendasar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad --lelaki yang sangat bersahaja itu-- adalah menemui dan melayani fakir miskin.
Lalu Pak Arif?
“Dari dua pengalaman Rasulullah itu Mas, selama hidup seharusnya kita menyinggahi dengan memberdayakan masjid yang fungsi utamanya bukan sekadar tempat shalat. Tak perlu megah dan bermewah-mewah, menjadikannya rumah buat semua umat. Dan, menyantuni fakir miskin, anak yatim dan kaum tertindas. Keduanya adalah tempat seorang muslim diuji kebenaran komitmennya dalam mengemban amanat Sang Khalik.”
Bapak asal Sampang --belum berhaji, beranak dua yang baru saja pindah dari Surabaya ke Malang ini juga bercerita penuh semangat dengan kutipan isi buku Dr. Ali Syari'ati dalam memotret suasana kehadiran Rasulullah saat menginjak tanah Yatsrib.
“Mas Bin, kenapa Tuhan mengijinkan Ibrahim menguburkan istrinya, Siti Hajar yang mantan budak, berkulit hitam asal Ethiopia itu tepat di sisi Ka’bah?”
Masih dengan gaya maduranya ia menjawab sendiri. Tuhan sangat setuju dengan pembelaan terhadap orang-orang tertindas. Tuhan telah menorehkan simbol tauhid dan pembebasan. Tanggapan terhadap tangisan kaum tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan tangisan kaum tertindas sama dengan mengabaikan panggilan Allah.
Lalu Pak Arief, pada perjalanan ke berapa saya mampu menangkap ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy?
"Tidak mungkin Mas Bin. Pertama, kita semua belum bebas, minimal merdeka berpikir. Kedua, Anda hanya melakukan perjalanan Bojong-Surabaya-Malang pulang pergi saban minggunya."
Dasar Pak Arief!
Ala kulli haq, sampai ketemu, dimanapun.
dengan segala permaafan,
Surabaya - Malang
June, 27, 2007
Surabaya. Sendiri. Malam ini saya terprovokasi tulisan Cak Nun –saya terbiasa memanggilnya demikian sejak 1992 ketika kali pertama saya berjumpa dengan Emha Ainun Nadjib di tabloid Detik, yang dikirim Pak Yahya untuk menulis pengalaman bulan-bulan terakhir, ketika saban minggu pulang ke Bojong. Thx to Pak Yahya, blog Anda begitu inspiratif.
Dalam hati, siapapun yang diberi kesempatan pergi berhaji, hendaknya mampu menjadikan hamparan puing di bekas Arroyyan tak lagi mengganggu mata dan hati saya.
Apa kaitan gerangan Arroyyan dan perjalanan berhaji. Simak ungkapan seorang sufi, ”pada perjalanan haji yang pertama, saya hanya melihat rumah Tuhan. Pada saat yang kedua, saya melihat rumah Tuhan dan pemiliknya. Dan pada saat yang ketiga, saya hanya melihat Tuhan saja” Begitu ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy.
Hadits qudsy yang cukup terkenal berbunyi; Sesungguhnya rumah-Ku di muka bumi adalah Masjid-masjid. Menekankan kepada kita akan pentingya keberadaan dan fungsi masjid-masjid, sebagai rumah Tuhan di alam dunia.
Saya bertanya dalam hati, seperti apa sebenarnya konsep kita tentang rumah Tuhan ini. Entah mengapa, sepulang ngopi dirumah tetangga, saya teringat judul cerpen yang begitu berani. Robohnya Surau Kami, karangan almarhum Ali Akbar Navis yang saya baca ketika awal SMP, dan kini terbit lagi dalam bentuk antologi, oleh Gramedia Pustaka.
Saya terhenyak, Navis bukan hanya piawai dalam penyampaian yang mengharukan. Kisah ini menampar saya tentang perlunya menjaga kelestarian rumah Tuhan melalui acara sosial keagamaan yang bermanfaat serta mampu memancarkan optimisme hidup bagi orang banyak.
Melalui tokohnya, seorang pembual bernama Arjo Sidi—Navis mengajak saya memelihara bangunan rumah Tuhan dari segala potensi bahaya yang mampu merobohkannya. Termasuk di dalamnya kekeroposan pilar keagamaan --iman dan akidah serta kejumudan beragama para pengelola dan jamaaahnya.
Tidak. Arroyyan tidak sama dengan surau yang digambarkan Navis. Warga di komplek ini tidak sama dan sebangun seperti yang ia gambarkan di desanya, tanah Minang sana. Di Bojong, setahu saya, tidak ada pembual seperti Arjo Sidi.
Tapi, dalam cerpen itu Navis sepertinya ingin menandaskan, di saat masjid, musholla, surau, langgar telah dimonopoli oleh tangan segelintir pengelolanya, maka saat itulah hak milik bangunan sebagai rumah bersama, dirampas dari kepemilikan sosial masyarakat secara kolektif. Tidak. Arroyyan tidak akan mungkin demikian.
Istri saya menegur. “Kamu saja jarang menyambangi Arroyyan, sok khawatir. Demikian curiganya kamu. Begitu negatifnya otakmu.”
Tidak. Arroyyan tak mungkin demikian. Tapi, entah kenapa selesai membaca, saya teringat seorang Wiji, marbot Arroyyan yang orang Tingkir itu. Bukan, Wiji bukan marbot seperti kakek yang digambarkan Navis. Saya banyak tahu Wiji ketika menemaninya mengerjakan bale RT.
Malam, minggu berikutnya saya membuka lembar jurnal Ulumul Qur’an, edisi III, 1995. Di halamannya terdapat tulisan Ikun Eska, Sebuah Rumah Buat Tuhan. Saya berharap, saya mendapat jawab, tentang arti sejati dari rumah Tuhan.
Ikun bercerita dengan memikat, bagaimana sebuah masjid di desa Jarot --tokoh cerpen yang berkeinginan mengembalikan fungsi masjid, dalam kenyataan keseharian hanya berguna sebagai tempat ritual yang bersifat seremonial belaka. Pak Kamituwa --wakil dari otoritas penguasa, telah mengunci mati masjid indah itu, dan menjauhkannya dari kebutuhan publik yang tak lain adalah tiang utama dari pembangunan rumah Tuhan tersebut.
Sehingga, kala suatu ketika desa itu dilanda hujan badai, masjid itu tetap tak mampu menjadi penampung yang baik. Masjid Jarot tak dapat menolong warga dari deraan musibah. Banyak korban bergelimpangan di di luar masjid. Dan, di tangan Pak Kamituwa –yang juga simbol dari ortodoksi pemikiran, sebuah masjid yang begitu megah telah menjadi hadiah bagi Tuhan. Hehe, Dzat yang sama sekali tak membutuhkannya. Apalagi hal itu sampai mengorbankan warga --jamaah masjid, sebagai tumbal dari ritual yang tidak pada tempatnya.
Alamak. Bojong tidak ada angin ribut. Atau semoga angin ribut tidak datang ketika Arroyyan belum berdiri megah seperti gambarnya itu. Entah siapa pula yang berimajinasi demikian tinggi, gambarnyapun begitu sulit diakses publik. Eh, boro-boro gambarnya, transparansi pembangunannya pun kini banyak digugat. Konon, intrik juga sempat melanda. Benarkah praktek politik kotor sudah meracuni warga? Cermin dari rusaknya struktur sosial? Tidak, saya menghibur diri.
Di komplek perumahan Gaperi yang jalannya hancur dan warganya tak bernyali menagih developer itu, kami siap bahu membahu menolong sesama. Tidak, tak ada pula tokoh macam Pak Kamituwa seperti Ikun lukiskan. Yang ada Pak Eman yang sekampung dengan Cak Nun dan doyan gaple itu.
Esok paginya, saya mendapati bapak. Ayah saya yang stroke dan kini memilih meninggali rumah samping Pak Saerang. Di bale bambu Bapak menggenggam buku. Tak berani saya mengganggu. Ketika berhaji 1997, tendanya ikut terbakar.
Pak, seperti apa konsep rumah Tuhan itu?
Dia tersenyum, seperti mampu membaca pikiran saya. Ia mengutip Buya Hamka, “rumah Tuhan mesti bisa berfungsi sebagai tempat introspeksi dimana semua orang nyaman bertafakkur dan memohon kepada Tuhan untuk menganugerahkan kesabaran dan keteguhan dalam mengarungi kehidupan.”
Sederhana. Bapak juga mengutip kutipan yang lebih lugas dari Najib Mahmud dalam buku Ru’yah Islamiyah, “masjid yang sejati terbangun dalam nurani,” katanya dengan lafal lidah tpikal penderita stroke, pelo dan cadel. Hiyaa!
Saya bertambah kalut. Bagaimana mungkin Arroyyan, masjid yang jarang saya sambangi itu mampu mengusik saya. Bangunan Arroyyan dengan bilik bambu medio 1997 sekelebat terlintas memenuhi isi kepala yang makin hari makin tipis berambut. Saya tahu, kenapa Arroyyan bambu lebih lama tinggal di memori. Pak Zainal, Pak Budi Wibowo dan Pak Hendro pernah menyenggol, “dulu semua orang butuh, semangat kebersamaannya ketika itu luar biasa pak.” Aha, kiranya semangat kebersamaan itulah yang mampu memberi ruh Arroyyan bambu? Hiyaa! Masjid yang sejati terbangun dalam nurani.
Kembali ke rumah. Entah mengapa saya teringat Gus Mus di Rembang. Dua minggu sebelum Soeharto jatuh, saya sempat berdiskusi mengenai maraknya masjid dibangun di sepanjang daerah miskin pantura Jawa. Saya hanya ingin tahu, bagaimana mungkin orang giat membangun masjid megah sementara sekelilingnya warga kesulitan mencari makan.
Ia menerangkan tentang pasokan dana dan sebagainya. Tapi yang menampar saya ketika itu, KH. Mustofa Bisri –nama lengkap Gus Mus, juga mengungkapkan keresahannya. Bahwa menjamurnya masjid dengan bentuk fisik yang serba megah di mana-mana, pada derajat tertentu, malah kian mengasingkan para jamaah untuk masuk ke dalamnya. "Masjid menjadi semakin tertutup, begitu pula para pengelolanya, eksklusif menikmati singgasananya".
Di balik kemegahannya, bayangan biaya pembangunan dan anggaran perawatan membuat khalayak sering dihinggapi semacam rasa sungkan, malu dan rendah diri untuk berlama-lama di dalamnya. “Makanya, wajar bila Nabi dalam sebuah haditsnya pernah menggambarkan bahwa salah satu tanda-tanda kiamat adalah gejala saling bermegah-megahan dalam membangun masjid,” kata Gus Mus suatu malam.
Satu sisi Gus Mus benar. Tapi Arroyyan bukan hanya membangun masjid. TPA dibawah bendera lembaga pendidikan dan koperasi dibawah bendera lembaga usaha katanya juga akan diakomodasi dalam bangunan itu. Jadi wajar saja membangun dengan menyedot ratusan juta. Tapi, secara imajiner, senyum Gus Mus malam ini seperti meledek.
Seorang kawan se komplek perumahan menyenggol lewat Yahoo! Messenger beberapa hari yang lalu. Kita tuh banci Pak. Kok gak fokus? Mau bangun apa sebenarnya kita ini? Seharusnya kita malu dengan Assalam di kampung depan itu. Struktur organisasi mereka simply, santai aja tuh mereka beragamanya.
Tetangga lain nimbrung. Pak, kenapa ya kita tidak serahkan sesuatu hal kepada ahlinya, kok kita malu mengakui kompetensi orang? Bukankah pendelegasian yang baik adalah kunci sukses seorang pemimpin? Saya buru-buru sign out, ingin segera pulang membungkam mulut mereka. Jikapun tidak, ingin rasanya menghajar pantat mereka untuk lebih berani mengutarakannya kepada yang berwenang. Ampun.
Cak Nun, jika saja mampu berhaji, saya bukan haji racun seperti yang sampean maklumkan. Ah, kenapa saya takabur begini rupa. Insya Allah tidak Cak. Minimal, saya punya modal, selalu membelikan kerabat maupun kenalan buku Menjadi Manusia Haji karangan Dr. Ali Syari’ati setiap kali mereka hendak berhaji. Saya ingat betul tentang telaah sosial dan filosofis yang ia gambarkan dalam ritual kolosal umat Islam tiap tahunnya. Rumah Tuhan adalah rumah umat manusia.
Farah Amini, karib sejawat di kantor, orang terakhir yang saya beri. Dia berumroh dua minggu lalu. Semalam dia menelpon dari kantor barunya di Menara Kadin, Kuningan. Berdiskusi dan melaporkan perjalanannya. "Minimal kini saya tahu Mas, kenapa Ka'bah tidak dibongkar!" Sebelumnya Pak Zainal, kawan saya ngopi di rumah dengan harapan agar ia segera berangkat.
Saya teringat ketika ayah berhaji, beberapa bulan sebelum saya menikah, saya menangis sejadinya karena buku itu. Berhaji berarti bersiap mati, sehingga setelah berhaji orang seperti dilahirkan kembali.
Ali Syari’ati dan sanak kerabat –NU atau Muhammadiyah atau apapun mazhabnya yang pernah berhaji bersepakat memberi kesaksian, drama monumental Haji adalah momentum yang pas dan kontekstual untuk menggugat kembali kesadaran manusia dalam pergaulannya dengan rumah Tuhan.
Pada hakekatnya, haji merupakan perjalanan ritual yang sepenuhnya tak bisa lepas dari nuansa kemanusiaan. Selain perjumpaan dengan pengalaman spiritual yang mengesankan, di dalamnya juga dipenuhi beragam ujian berupa rajukan setan yang selalu berusaha menggelincirkan setiap pelakunya. Haji adalah serangkaian perisitiwa dengan aneka makna. Ia bisa berupa sekadar kejadian biasa dalam dimensi yang sarat dengan hasrat dan denyut nadi kemanusiaan, juga bisa berwujud sederetan tragedi yang konyol, memukau, haru biru, kelabu dan bahkan lucu.
Pada titik ini, Alm. Navis dan Ikun, juga pengalaman kita semua di kampung halaman dan masa kecil, dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi dinamika dan penyadaran hidup keagamaan.
Sekali lagi Cak, jika saja saya berhaji, saya ingin menjadi bagian dari gempita kepasrahan kolosal yang membahana itu. Saya tahu, sebagai pelaku, saya terlibat untuk menyaksikan secara langsung napak tilas sejarah beserta situs peradaban yang bernilai religi itu.
Sebab, kata Ali Syari’ati, keberadaan Ka’bah atau Baitullah tak dapat disangkal merupakan simbol yang memiliki daya pikat paling kuat dibandingkan simbol-simbol yang lain. Selain sebagai kiblat shalat, Ka’bah merupakan lambang dari kekuatan tauhid – monoteisme, yang obornya dinyalakan oleh Ibrahim. Ia tidak hanya cukup didekati dengan cara berkeliling di sekitarnya. Lebih dari itu ia membutuhkan simpul tali keagamaan yang kuat dalam upayanya untuk mengakrabkan hubungan hamba dengan penciptanya. Bukan begitu Cak? Taraf kedekatan semacam inilah yang diidealkan pencapaiannya oleh para pelaku haji, sebagaimana telah dirasakan melalui ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy diatas.
Seketika saya ingin mengadu kegundahan kepada Suami Novia Kolopoking ini –kawan SMA adik saya. Tapi dia kini tengah sibuk mengadvokasi saudara-saudara korban Lapindo. Sekalipun sama-sama di Surabaya, saya begitu sulit menemuinya.
Saya tumpahkan kegundahan saya kepada Pak Arief Lukman Hakiem. Kawan sekantor yang berasal dari Madura. Jago masalah tanah dan pertanian, dan sempat beberapa tahun berguru di Jerman. Dua jam lebih kegundahan ini dan silang sengkarut pikiran tentang Arroyyan, Bojong, Navis dan Ikun saya pindahkan ke kepalanya.
“Mas tahu, apa yang dilakukan ketika Nabi pertama kali menginjakkan kaki di Yatsrib, sekarang Madinah?” tanyanya. Dengan gaya maduranya, dia menjawab sendiri. Pertama, sebelum Nabi Muhammad menginjakkan kakinya di Madinah, maka Beliau membangun masjid, yakni masjid Quba. Kedua, tindakan mendasar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad --lelaki yang sangat bersahaja itu-- adalah menemui dan melayani fakir miskin.
Lalu Pak Arif?
“Dari dua pengalaman Rasulullah itu Mas, selama hidup seharusnya kita menyinggahi dengan memberdayakan masjid yang fungsi utamanya bukan sekadar tempat shalat. Tak perlu megah dan bermewah-mewah, menjadikannya rumah buat semua umat. Dan, menyantuni fakir miskin, anak yatim dan kaum tertindas. Keduanya adalah tempat seorang muslim diuji kebenaran komitmennya dalam mengemban amanat Sang Khalik.”
Bapak asal Sampang --belum berhaji, beranak dua yang baru saja pindah dari Surabaya ke Malang ini juga bercerita penuh semangat dengan kutipan isi buku Dr. Ali Syari'ati dalam memotret suasana kehadiran Rasulullah saat menginjak tanah Yatsrib.
“Mas Bin, kenapa Tuhan mengijinkan Ibrahim menguburkan istrinya, Siti Hajar yang mantan budak, berkulit hitam asal Ethiopia itu tepat di sisi Ka’bah?”
Masih dengan gaya maduranya ia menjawab sendiri. Tuhan sangat setuju dengan pembelaan terhadap orang-orang tertindas. Tuhan telah menorehkan simbol tauhid dan pembebasan. Tanggapan terhadap tangisan kaum tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan tangisan kaum tertindas sama dengan mengabaikan panggilan Allah.
Lalu Pak Arief, pada perjalanan ke berapa saya mampu menangkap ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy?
"Tidak mungkin Mas Bin. Pertama, kita semua belum bebas, minimal merdeka berpikir. Kedua, Anda hanya melakukan perjalanan Bojong-Surabaya-Malang pulang pergi saban minggunya."
Dasar Pak Arief!
Ala kulli haq, sampai ketemu, dimanapun.
dengan segala permaafan,
Surabaya - Malang
June, 27, 2007
Friday, June 08, 2007
Piet Paaltjes
Oh, Spreek mij niet van liefde,
van vriendschap en van trouw
die zijn al sinds lang overleden
'k ben er al van in de rouw.
Ah, jangan bicara tentang cinta padaku
tentang persahabatan dan tentang kepercayaan
semua itu sudah lama mati
karenanya aku tenggelam dalam duka
Neen, spreek mij van 's menschen ellende
van al zijn kommer en nood
en hoe hij zijn broeders leven
verbitterd, dan lach ik mij dood
Jangan, bicara saja padaku tentang kesengsaraan manusia
tentang segala nestapa dan derita mereka
dan bagaimana kehidupan bersaudara mereka
hancur, maka aku akan tertawa terbahak-bahak!
van vriendschap en van trouw
die zijn al sinds lang overleden
'k ben er al van in de rouw.
Ah, jangan bicara tentang cinta padaku
tentang persahabatan dan tentang kepercayaan
semua itu sudah lama mati
karenanya aku tenggelam dalam duka
Neen, spreek mij van 's menschen ellende
van al zijn kommer en nood
en hoe hij zijn broeders leven
verbitterd, dan lach ik mij dood
Jangan, bicara saja padaku tentang kesengsaraan manusia
tentang segala nestapa dan derita mereka
dan bagaimana kehidupan bersaudara mereka
hancur, maka aku akan tertawa terbahak-bahak!
Thursday, June 07, 2007
Eenzaamheid
Eenzaamheid
(Jan van Nijlen)
De mens is eenzaam tot en met zijn dood
Nooit is ,,n liefde, nooit ,,n vriendschap klaar
en, zelfs geboren uit dezelfde schoot,
Zijn wij nog vreemden voor elkaar.
Wat weet ik van mijn zuster en mijn vader.
wat van mijn moeder en mijn eigen kind?
En is mijn vrouw mij altijd zoveel nader
Dan de arme meid voor 't eerst bemind?
Nooit kan een hart een ander overwinnen;
Van lief tot minnaar en van mens tot mens
Kunnen wij nooit geheel volmaakt beminnen;
Er is altijd een kloof, een grens.
't Is niet eens zeker dat de dood verenen
Kan wat het leven onmeedogend scheidt,
En er beestat niet, van Parijs tot Wenen,
Een koffiehuis 'In de Eenzaamheid'!
Kesepian
Manusia sendiri sampai mati
Tak pernah ada satupun cinta, tak pernah ada satupun persahabatan
Dan bahkan, terlahir dari lahir yang sama,
kita masih asing satu sama lain
apa yang kutahu tentang saudara perempuan atau ayahku,
tentang ibu dan anakku sendiri?
Dan apakah istriku selalu lebih dekat denganku
daripada Si gadis malang cinta pertamaku?
Tak pernah sebuah hati dapat memenangkan yang lain;
kesayangan hingga kekasih dan manusia hingga manusia
tak pernah bisa kita cintai secara utuh sempurna;
selalu ada jurang, ada batas
Tak pernah pasti bahwa kematian dapat menyatukan
apa yang dipisahkan hidup dengan kejam,
dan tak ada, dari Paris sampai Wina,
sebuah kedai kopi 'Dalam Kesepian'
(Jan van Nijlen)
De mens is eenzaam tot en met zijn dood
Nooit is ,,n liefde, nooit ,,n vriendschap klaar
en, zelfs geboren uit dezelfde schoot,
Zijn wij nog vreemden voor elkaar.
Wat weet ik van mijn zuster en mijn vader.
wat van mijn moeder en mijn eigen kind?
En is mijn vrouw mij altijd zoveel nader
Dan de arme meid voor 't eerst bemind?
Nooit kan een hart een ander overwinnen;
Van lief tot minnaar en van mens tot mens
Kunnen wij nooit geheel volmaakt beminnen;
Er is altijd een kloof, een grens.
't Is niet eens zeker dat de dood verenen
Kan wat het leven onmeedogend scheidt,
En er beestat niet, van Parijs tot Wenen,
Een koffiehuis 'In de Eenzaamheid'!
Kesepian
Manusia sendiri sampai mati
Tak pernah ada satupun cinta, tak pernah ada satupun persahabatan
Dan bahkan, terlahir dari lahir yang sama,
kita masih asing satu sama lain
apa yang kutahu tentang saudara perempuan atau ayahku,
tentang ibu dan anakku sendiri?
Dan apakah istriku selalu lebih dekat denganku
daripada Si gadis malang cinta pertamaku?
Tak pernah sebuah hati dapat memenangkan yang lain;
kesayangan hingga kekasih dan manusia hingga manusia
tak pernah bisa kita cintai secara utuh sempurna;
selalu ada jurang, ada batas
Tak pernah pasti bahwa kematian dapat menyatukan
apa yang dipisahkan hidup dengan kejam,
dan tak ada, dari Paris sampai Wina,
sebuah kedai kopi 'Dalam Kesepian'
Wednesday, February 28, 2007
Haji Madu dan Haji Racun
Hari-hari ini adalah hari 'H' di mana rombongan-rombongan awal jamaah calon haji kita mulai bersiap berangkat.
Ini adalah sebuah keindahan. Kita mengayubagya mereka semua. Kita semua Umat Islam bagaikan sedang berada di menit-menit yang penuh rasa penasaran.
Sesaat lagi lagu-lagu rindu keilahian akan terdengar. Lantunan suar talbiyah cinta akan bangkit dari seluruh permukaan bumi, bagai beribu gugusan cahaya yang bangkit tegak lurus ke langit.
Gunung-gunung, hutan belantara dan kebun-kebun, angin, dedaunan, akan menari-nari. Dan langit menyiapkan spiritual receiver-nya yang terjernih. Ribuan malaikat Allah akan mengangkut di pundak-pundak mereka lagu-lagu jawaban para hamba Allah atas panggilan cinta, untuk dihamparkan dan ditata di halaman rumah sejati Allah nun jauh di arasy laisa kamitslihi syai-un. Ah, betapa bahagianya mereka yang kini mulai berbondong-bondong ke Baitullah. Mereka bukan saja akan menciumi hajar Aswad, mengitari Ka'bah dalam emosi cinta yang meluap-luap. Mereka bukan saja akan berjajar memenuhi Masjidil Haram -- tapi juga siap berjamaah salat dengan semua Nabi dan Rasul, segenap Aulia, Jin-jin mukmin-muslim, bahkan dengan debu-debu dan kehangatan matahari yang
semuanya itu bertasbih.
Ya Allah... dan Rasulullah Muhammad SAW yang amat amat amat kita cintai, berdiri sebagai Imam salat kita semua! Kita yang tertinggal di tanah air siap menangis. Siap meneteskan airmata, dengan rasa cemburu.
***
Menurut sebuah berita keislaman lama, terdapat sebuah interpretasi yang mengidentifikasikan ibadah haji dengan lambang air madu. Besertaan dengan ini salat dilambangkan oleh air hujan yang pangkal dan ujung maknanya adalah pencahayaan. Puasa disimbolkan oleh khamar yang mengempasiskan proses peragian rohani atau sublimasi kepribadian. Sementara zakat dimetaforkan oleh air susu yang inti kearifannya adalah keberbagian atau kesediaan berbagi.
Haji madu! Haji madu! Saudara-saudara kita yang pergi memenuhi panggilan cinta itu berangkat memproses pencapaian kualitas madu bagi kepribadiannya. Nanti kalau mereka kembali ke tengah kita, maka siap-siaplah mendengarkan betapa setiap ucapannya akan bermutu bagai madu. Setiap perilakunya, setiap gerak geriknya, setiap keputusan dan sikap sosialnya -- baik dalam pergaulan kesehariannya maupun dalam keterlibatan kolektifnya pada sistem-sistem sosial -- akan memancarkan
kualitas madu.
Seandainya seorang Muslim sekadar sampai pada taraf syahadat saja pun -- berkat ikrarnya atas Allah dan Rasulullah -- pun mestinya ia akan tak mungkin menyakiti kita. Tak mungkin mendustai kita, menggusur nasib kita, mengakali kebodohan kita, menindas kelemahan kita.
Apalagi jika hamba Allah itu telah pula melakukan salat. Orang yang sudah mengangkat tangan dan mengucapkan 'Allahu Akbar' di awal salat, mana mungkin punya sifat egosentris, mana mungkin memusatkan kehidupan ini pada kepentingan sendiri, pada kemapanan kekuasaannya sendiri, atau pada pamrih keuntungan ekonominya sendiri.
Orang yang ketika melakukan salat dan bersujud atau berpose menyerupai binatang berkaki empat dan mengucapkan ''Maha Suci Allah yang Maha Tinggi'' dalam kedudukan sebagai 'aku' atau individual (: robbiya); atau ketika beruku' bagaikan kanguru menunduk dan juga dalam posisi sebagai 'aku' atau individual; lantas ketika berdiri bersedekap mengucapkan ''hanya kepadamu kami menyembah...'' atau memposisikan dirinya tidak sebagai individu melainkan sebagai 'kebersamaan sosial' -- mana mungkin terlibat dalam ketidakadilan, otoritarianisme, fasisme, korupsi, manipulasi atau monopoli.
Kalau sudah melakukan salat tapi tetap mengerjakan hal-hal itu, maka tentu mereka adalah alladzina hum 'an sholatihim sahun -- orang-orang yang memperlakukan salatnya dengan kelalaian dan pelecehan -- sehingga neraka Wail yang dijanjikan oleh Allah atas mereka. Sebab yang mereka produksi di muka bumi adalah neraka-neraka kecil, perusakan dan penghancuran atas wajib bareng-barengnya kesejahteraan bagaimana yang diamanatkan oleh Allah SWT.
***
Jadi betapa indahnya perilaku, ucapan, peran, sosial dan mutu integritas orang yang telah naik haji.
Tapi kalau ternyata tidak demikian -- menangislah. Kalau ternyata di sekitarmu bahkan ada haji-haji racun, berlindunglah kepada Allah SWT.
Bermacam-macam dorongan yang membuat orang-orang pergi haji. Ada yang karena kerinduan bertahun-tahun. Ada yang memang benar-benar karena ingin mematangkan dan menyempurnakan kemuslimannya. Ada juga yang kebetulan dapat jatah. Ada yang biaya naik haji baginya sama dengan makan malam beberapa kali, sehingga pergi ke Mekkah itu tidak istimewa, dan ketika merancangnya seakan-akan ia akan berpariwisata.
Atau mungkin ada yang buntu hidupnya, dipenjarakan ia oleh problem-problem, sehingga ia yakini hanya di Baitullah segala sesuatunya bisa dibereskan.
Seorang kawan hendak naik haji dengan perasaan bahwa bukan tidak mungkin ia tak akan pernah kembali ke tanah air. Ia mintai saya menemaninya pada minggu-minggu menjelang berangkat. Ia bereskan semua hutangnya, ia beredar minta maaf kepada siapa saja yang ia pernah melakukan kesalahan. Ia jaga perilakunya sebaik mungkin dan ia hindarkan dari dosa sekecil apapun.
Tapi ada juga seorang kawan lain yang mengeluh kepada saya betapa calon istrinya mengisi hidupnya pada bulan-bulan menjelang naik haji dengan cara yang sangat aneh.
''Hampir setiap hari ia menyakiti saya,'' katanya, ''ia selalu menuntut kejujuran saya tapi ia sendiri mempersembahkan kepada saya dusta, kebohongan, pengingkaran janji, siksaan, kekejaman. Jangankan memperlakukan saya sebagai calon suami yang ia janjikan dengan berbagai komitmen; sedangkan memperlakukan saya sebagai manusia -- nguwongke -- saja ia hampir tak lakukan. Saya bukan membesar-besarkan: ia benar-benar secara sangat ekstrem melakukan hal itu dari jam ke jam. Ia seperti sedang dikuasai entah oleh setan atau jin apa. Bahkan terakhir saya menjumpai -- maaf -- gambar buka aurat dia, dan entah siapa yang memfotonya. Saya boleh menangis, 'kan, meskipun saya laki-laki? Juga saya sama sekali tidak mengerti bagaimana mungkin ia menghimpun kelaliman itu menjelang pertemuan agungnya dengan Allah? Apakah saya akan tidak mensupport keberangkatannya naik haji?''
Saya merasa tidak mampu meneruskan tulisan ini, sebagaimana saya juga merasa tidak sanggup memberikan jawaban atau saran apapun kepada teman kita ini.
Tapi saya mencobanya. ''Mungkin Allah menawarimu kemuliaan tingkat tinggi. Di puncak sakit hatimu dan hancurnya harga dirimu, engkau ditantang untuk sanggup memanfaatkannya, karena hanya jika engkau memaafkannya maka Allah akan juga mengampuninya. Memaafkan adalah satu-satunya jalan: bukankah engkau sangat mencintainya?''
''Ya,'' jawab kawan ini, dengan nada ragu.
''Islam mengenalkan kepada kita konsep husnul khathimah, akhir yang baik. Mudah-mudahan ia memang sedang terserap oleh puncak kegelapan hidupnya, semoga pula Allah nanti membenturnya, kemudian menganugerahinya hidayah dan cahaya.''
''Tapi bagaimana kalau Allah ternyata membiarkannya?'' ia tampak sangat cemas, ''di tanah suci ia tak mengalami apa-apa, nanti pulang juga tidak berubah apa-apa?''
''Satu-satunya jalan yang bisa engkau tempuh adalah tidak ber-su-udhdhon atau bersangka buruk kepada Allah. Bukankah yang terindah dalam hidup ini adalah kebesaran jiwa untuk disakiti oleh kegelapan, kemudian memohonkan kepada Allah perkenan untuk mengubahnya menjadi cahaya?''....
Ah, teori! Tampaknya aku sendiri seandainya itu semua benar tak mampu menyangga pengalaman semacam itu. Haji racun. Tapi tak mungkin haji itu meracuni. Tidak. Bukankah Mike Tyson memperkosa, untuk beberapa tahun kemudian bersujud syukur di hadapan ratusan juta penonton? (Emha Ainun Nadjib)
Ini adalah sebuah keindahan. Kita mengayubagya mereka semua. Kita semua Umat Islam bagaikan sedang berada di menit-menit yang penuh rasa penasaran.
Sesaat lagi lagu-lagu rindu keilahian akan terdengar. Lantunan suar talbiyah cinta akan bangkit dari seluruh permukaan bumi, bagai beribu gugusan cahaya yang bangkit tegak lurus ke langit.
Gunung-gunung, hutan belantara dan kebun-kebun, angin, dedaunan, akan menari-nari. Dan langit menyiapkan spiritual receiver-nya yang terjernih. Ribuan malaikat Allah akan mengangkut di pundak-pundak mereka lagu-lagu jawaban para hamba Allah atas panggilan cinta, untuk dihamparkan dan ditata di halaman rumah sejati Allah nun jauh di arasy laisa kamitslihi syai-un. Ah, betapa bahagianya mereka yang kini mulai berbondong-bondong ke Baitullah. Mereka bukan saja akan menciumi hajar Aswad, mengitari Ka'bah dalam emosi cinta yang meluap-luap. Mereka bukan saja akan berjajar memenuhi Masjidil Haram -- tapi juga siap berjamaah salat dengan semua Nabi dan Rasul, segenap Aulia, Jin-jin mukmin-muslim, bahkan dengan debu-debu dan kehangatan matahari yang
semuanya itu bertasbih.
Ya Allah... dan Rasulullah Muhammad SAW yang amat amat amat kita cintai, berdiri sebagai Imam salat kita semua! Kita yang tertinggal di tanah air siap menangis. Siap meneteskan airmata, dengan rasa cemburu.
***
Menurut sebuah berita keislaman lama, terdapat sebuah interpretasi yang mengidentifikasikan ibadah haji dengan lambang air madu. Besertaan dengan ini salat dilambangkan oleh air hujan yang pangkal dan ujung maknanya adalah pencahayaan. Puasa disimbolkan oleh khamar yang mengempasiskan proses peragian rohani atau sublimasi kepribadian. Sementara zakat dimetaforkan oleh air susu yang inti kearifannya adalah keberbagian atau kesediaan berbagi.
Haji madu! Haji madu! Saudara-saudara kita yang pergi memenuhi panggilan cinta itu berangkat memproses pencapaian kualitas madu bagi kepribadiannya. Nanti kalau mereka kembali ke tengah kita, maka siap-siaplah mendengarkan betapa setiap ucapannya akan bermutu bagai madu. Setiap perilakunya, setiap gerak geriknya, setiap keputusan dan sikap sosialnya -- baik dalam pergaulan kesehariannya maupun dalam keterlibatan kolektifnya pada sistem-sistem sosial -- akan memancarkan
kualitas madu.
Seandainya seorang Muslim sekadar sampai pada taraf syahadat saja pun -- berkat ikrarnya atas Allah dan Rasulullah -- pun mestinya ia akan tak mungkin menyakiti kita. Tak mungkin mendustai kita, menggusur nasib kita, mengakali kebodohan kita, menindas kelemahan kita.
Apalagi jika hamba Allah itu telah pula melakukan salat. Orang yang sudah mengangkat tangan dan mengucapkan 'Allahu Akbar' di awal salat, mana mungkin punya sifat egosentris, mana mungkin memusatkan kehidupan ini pada kepentingan sendiri, pada kemapanan kekuasaannya sendiri, atau pada pamrih keuntungan ekonominya sendiri.
Orang yang ketika melakukan salat dan bersujud atau berpose menyerupai binatang berkaki empat dan mengucapkan ''Maha Suci Allah yang Maha Tinggi'' dalam kedudukan sebagai 'aku' atau individual (: robbiya); atau ketika beruku' bagaikan kanguru menunduk dan juga dalam posisi sebagai 'aku' atau individual; lantas ketika berdiri bersedekap mengucapkan ''hanya kepadamu kami menyembah...'' atau memposisikan dirinya tidak sebagai individu melainkan sebagai 'kebersamaan sosial' -- mana mungkin terlibat dalam ketidakadilan, otoritarianisme, fasisme, korupsi, manipulasi atau monopoli.
Kalau sudah melakukan salat tapi tetap mengerjakan hal-hal itu, maka tentu mereka adalah alladzina hum 'an sholatihim sahun -- orang-orang yang memperlakukan salatnya dengan kelalaian dan pelecehan -- sehingga neraka Wail yang dijanjikan oleh Allah atas mereka. Sebab yang mereka produksi di muka bumi adalah neraka-neraka kecil, perusakan dan penghancuran atas wajib bareng-barengnya kesejahteraan bagaimana yang diamanatkan oleh Allah SWT.
***
Jadi betapa indahnya perilaku, ucapan, peran, sosial dan mutu integritas orang yang telah naik haji.
Tapi kalau ternyata tidak demikian -- menangislah. Kalau ternyata di sekitarmu bahkan ada haji-haji racun, berlindunglah kepada Allah SWT.
Bermacam-macam dorongan yang membuat orang-orang pergi haji. Ada yang karena kerinduan bertahun-tahun. Ada yang memang benar-benar karena ingin mematangkan dan menyempurnakan kemuslimannya. Ada juga yang kebetulan dapat jatah. Ada yang biaya naik haji baginya sama dengan makan malam beberapa kali, sehingga pergi ke Mekkah itu tidak istimewa, dan ketika merancangnya seakan-akan ia akan berpariwisata.
Atau mungkin ada yang buntu hidupnya, dipenjarakan ia oleh problem-problem, sehingga ia yakini hanya di Baitullah segala sesuatunya bisa dibereskan.
Seorang kawan hendak naik haji dengan perasaan bahwa bukan tidak mungkin ia tak akan pernah kembali ke tanah air. Ia mintai saya menemaninya pada minggu-minggu menjelang berangkat. Ia bereskan semua hutangnya, ia beredar minta maaf kepada siapa saja yang ia pernah melakukan kesalahan. Ia jaga perilakunya sebaik mungkin dan ia hindarkan dari dosa sekecil apapun.
Tapi ada juga seorang kawan lain yang mengeluh kepada saya betapa calon istrinya mengisi hidupnya pada bulan-bulan menjelang naik haji dengan cara yang sangat aneh.
''Hampir setiap hari ia menyakiti saya,'' katanya, ''ia selalu menuntut kejujuran saya tapi ia sendiri mempersembahkan kepada saya dusta, kebohongan, pengingkaran janji, siksaan, kekejaman. Jangankan memperlakukan saya sebagai calon suami yang ia janjikan dengan berbagai komitmen; sedangkan memperlakukan saya sebagai manusia -- nguwongke -- saja ia hampir tak lakukan. Saya bukan membesar-besarkan: ia benar-benar secara sangat ekstrem melakukan hal itu dari jam ke jam. Ia seperti sedang dikuasai entah oleh setan atau jin apa. Bahkan terakhir saya menjumpai -- maaf -- gambar buka aurat dia, dan entah siapa yang memfotonya. Saya boleh menangis, 'kan, meskipun saya laki-laki? Juga saya sama sekali tidak mengerti bagaimana mungkin ia menghimpun kelaliman itu menjelang pertemuan agungnya dengan Allah? Apakah saya akan tidak mensupport keberangkatannya naik haji?''
Saya merasa tidak mampu meneruskan tulisan ini, sebagaimana saya juga merasa tidak sanggup memberikan jawaban atau saran apapun kepada teman kita ini.
Tapi saya mencobanya. ''Mungkin Allah menawarimu kemuliaan tingkat tinggi. Di puncak sakit hatimu dan hancurnya harga dirimu, engkau ditantang untuk sanggup memanfaatkannya, karena hanya jika engkau memaafkannya maka Allah akan juga mengampuninya. Memaafkan adalah satu-satunya jalan: bukankah engkau sangat mencintainya?''
''Ya,'' jawab kawan ini, dengan nada ragu.
''Islam mengenalkan kepada kita konsep husnul khathimah, akhir yang baik. Mudah-mudahan ia memang sedang terserap oleh puncak kegelapan hidupnya, semoga pula Allah nanti membenturnya, kemudian menganugerahinya hidayah dan cahaya.''
''Tapi bagaimana kalau Allah ternyata membiarkannya?'' ia tampak sangat cemas, ''di tanah suci ia tak mengalami apa-apa, nanti pulang juga tidak berubah apa-apa?''
''Satu-satunya jalan yang bisa engkau tempuh adalah tidak ber-su-udhdhon atau bersangka buruk kepada Allah. Bukankah yang terindah dalam hidup ini adalah kebesaran jiwa untuk disakiti oleh kegelapan, kemudian memohonkan kepada Allah perkenan untuk mengubahnya menjadi cahaya?''....
Ah, teori! Tampaknya aku sendiri seandainya itu semua benar tak mampu menyangga pengalaman semacam itu. Haji racun. Tapi tak mungkin haji itu meracuni. Tidak. Bukankah Mike Tyson memperkosa, untuk beberapa tahun kemudian bersujud syukur di hadapan ratusan juta penonton? (Emha Ainun Nadjib)
Friday, January 05, 2007
J'ai Plus de Mots
Ce qui arrive, notre histoire
restera inachevée
Like you never knew i was there
Tu te bas, on se ment, je préfére m'en aller
Can we make love re-appear?
Tes larmes ne vont plus rien changer
And now all is said and done
Il faudra nous reconstruire et réapprendre à aimer (no)
Interprete : Lemar & Justine
restera inachevée
Like you never knew i was there
Tu te bas, on se ment, je préfére m'en aller
Can we make love re-appear?
Tes larmes ne vont plus rien changer
And now all is said and done
Il faudra nous reconstruire et réapprendre à aimer (no)
Interprete : Lemar & Justine
Malam itu
Malam itu kita berjalan, berdua saja.
Menyusuri trotoar dingin, di malam penuh sajak cinta.
Berdua saja.
Bumi dan bulan saling bercerita dan meraba dinding hatinya
tanpa peduli apapun yang kelak akan terjadi..
Kalau saja aku tidak mencintainya,
kenapa jua aku mau menemaninya malam itu...
Angin lirih dan bulan kelak akan mengerang menahan rindunya.
Dec 19, 2006
Menyusuri trotoar dingin, di malam penuh sajak cinta.
Berdua saja.
Bumi dan bulan saling bercerita dan meraba dinding hatinya
tanpa peduli apapun yang kelak akan terjadi..
Kalau saja aku tidak mencintainya,
kenapa jua aku mau menemaninya malam itu...
Angin lirih dan bulan kelak akan mengerang menahan rindunya.
Dec 19, 2006
Tuesday, January 02, 2007
Resolusi 2007
Saya akan buat resolusi 2007 ini, lebih baik lagi! :p
Wow, my last posting is on Jan 03, 2006. It's been a while!
Wow, my last posting is on Jan 03, 2006. It's been a while!
Subscribe to:
Posts (Atom)
Popular Posts
-
Alhamdulillah, since the beginning of March 2011, I decided to close permanently my Facebook Account. So, for those who still miss me and wa...
-
Ini berdasarkan "true story", ketika saya memperpanjang STNK kendaraan jenis Sepeda Motor, pada hari Senin, 22 Oktober 2012 yang...
-
"Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya. Dimana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan. Pengkhianat d...