Oleh: Bintoro WP.
Surabaya. Sendiri. Malam ini saya terprovokasi tulisan Cak Nun –saya terbiasa memanggilnya demikian sejak 1992 ketika kali pertama saya berjumpa dengan Emha Ainun Nadjib di tabloid Detik, yang dikirim Pak Yahya untuk menulis pengalaman bulan-bulan terakhir, ketika saban minggu pulang ke Bojong. Thx to Pak Yahya, blog Anda begitu inspiratif.
Dalam hati, siapapun yang diberi kesempatan pergi berhaji, hendaknya mampu menjadikan hamparan puing di bekas Arroyyan tak lagi mengganggu mata dan hati saya.
Apa kaitan gerangan Arroyyan dan perjalanan berhaji. Simak ungkapan seorang sufi, ”pada perjalanan haji yang pertama, saya hanya melihat rumah Tuhan. Pada saat yang kedua, saya melihat rumah Tuhan dan pemiliknya. Dan pada saat yang ketiga, saya hanya melihat Tuhan saja” Begitu ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy.
Hadits qudsy yang cukup terkenal berbunyi; Sesungguhnya rumah-Ku di muka bumi adalah Masjid-masjid. Menekankan kepada kita akan pentingya keberadaan dan fungsi masjid-masjid, sebagai rumah Tuhan di alam dunia.
Saya bertanya dalam hati, seperti apa sebenarnya konsep kita tentang rumah Tuhan ini. Entah mengapa, sepulang ngopi dirumah tetangga, saya teringat judul cerpen yang begitu berani. Robohnya Surau Kami, karangan almarhum Ali Akbar Navis yang saya baca ketika awal SMP, dan kini terbit lagi dalam bentuk antologi, oleh Gramedia Pustaka.
Saya terhenyak, Navis bukan hanya piawai dalam penyampaian yang mengharukan. Kisah ini menampar saya tentang perlunya menjaga kelestarian rumah Tuhan melalui acara sosial keagamaan yang bermanfaat serta mampu memancarkan optimisme hidup bagi orang banyak.
Melalui tokohnya, seorang pembual bernama Arjo Sidi—Navis mengajak saya memelihara bangunan rumah Tuhan dari segala potensi bahaya yang mampu merobohkannya. Termasuk di dalamnya kekeroposan pilar keagamaan --iman dan akidah serta kejumudan beragama para pengelola dan jamaaahnya.
Tidak. Arroyyan tidak sama dengan surau yang digambarkan Navis. Warga di komplek ini tidak sama dan sebangun seperti yang ia gambarkan di desanya, tanah Minang sana. Di Bojong, setahu saya, tidak ada pembual seperti Arjo Sidi.
Tapi, dalam cerpen itu Navis sepertinya ingin menandaskan, di saat masjid, musholla, surau, langgar telah dimonopoli oleh tangan segelintir pengelolanya, maka saat itulah hak milik bangunan sebagai rumah bersama, dirampas dari kepemilikan sosial masyarakat secara kolektif. Tidak. Arroyyan tidak akan mungkin demikian.
Istri saya menegur. “Kamu saja jarang menyambangi Arroyyan, sok khawatir. Demikian curiganya kamu. Begitu negatifnya otakmu.”
Tidak. Arroyyan tak mungkin demikian. Tapi, entah kenapa selesai membaca, saya teringat seorang Wiji, marbot Arroyyan yang orang Tingkir itu. Bukan, Wiji bukan marbot seperti kakek yang digambarkan Navis. Saya banyak tahu Wiji ketika menemaninya mengerjakan bale RT.
Malam, minggu berikutnya saya membuka lembar jurnal Ulumul Qur’an, edisi III, 1995. Di halamannya terdapat tulisan Ikun Eska, Sebuah Rumah Buat Tuhan. Saya berharap, saya mendapat jawab, tentang arti sejati dari rumah Tuhan.
Ikun bercerita dengan memikat, bagaimana sebuah masjid di desa Jarot --tokoh cerpen yang berkeinginan mengembalikan fungsi masjid, dalam kenyataan keseharian hanya berguna sebagai tempat ritual yang bersifat seremonial belaka. Pak Kamituwa --wakil dari otoritas penguasa, telah mengunci mati masjid indah itu, dan menjauhkannya dari kebutuhan publik yang tak lain adalah tiang utama dari pembangunan rumah Tuhan tersebut.
Sehingga, kala suatu ketika desa itu dilanda hujan badai, masjid itu tetap tak mampu menjadi penampung yang baik. Masjid Jarot tak dapat menolong warga dari deraan musibah. Banyak korban bergelimpangan di di luar masjid. Dan, di tangan Pak Kamituwa –yang juga simbol dari ortodoksi pemikiran, sebuah masjid yang begitu megah telah menjadi hadiah bagi Tuhan. Hehe, Dzat yang sama sekali tak membutuhkannya. Apalagi hal itu sampai mengorbankan warga --jamaah masjid, sebagai tumbal dari ritual yang tidak pada tempatnya.
Alamak. Bojong tidak ada angin ribut. Atau semoga angin ribut tidak datang ketika Arroyyan belum berdiri megah seperti gambarnya itu. Entah siapa pula yang berimajinasi demikian tinggi, gambarnyapun begitu sulit diakses publik. Eh, boro-boro gambarnya, transparansi pembangunannya pun kini banyak digugat. Konon, intrik juga sempat melanda. Benarkah praktek politik kotor sudah meracuni warga? Cermin dari rusaknya struktur sosial? Tidak, saya menghibur diri.
Di komplek perumahan Gaperi yang jalannya hancur dan warganya tak bernyali menagih developer itu, kami siap bahu membahu menolong sesama. Tidak, tak ada pula tokoh macam Pak Kamituwa seperti Ikun lukiskan. Yang ada Pak Eman yang sekampung dengan Cak Nun dan doyan gaple itu.
Esok paginya, saya mendapati bapak. Ayah saya yang stroke dan kini memilih meninggali rumah samping Pak Saerang. Di bale bambu Bapak menggenggam buku. Tak berani saya mengganggu. Ketika berhaji 1997, tendanya ikut terbakar.
Pak, seperti apa konsep rumah Tuhan itu?
Dia tersenyum, seperti mampu membaca pikiran saya. Ia mengutip Buya Hamka, “rumah Tuhan mesti bisa berfungsi sebagai tempat introspeksi dimana semua orang nyaman bertafakkur dan memohon kepada Tuhan untuk menganugerahkan kesabaran dan keteguhan dalam mengarungi kehidupan.”
Sederhana. Bapak juga mengutip kutipan yang lebih lugas dari Najib Mahmud dalam buku Ru’yah Islamiyah, “masjid yang sejati terbangun dalam nurani,” katanya dengan lafal lidah tpikal penderita stroke, pelo dan cadel. Hiyaa!
Saya bertambah kalut. Bagaimana mungkin Arroyyan, masjid yang jarang saya sambangi itu mampu mengusik saya. Bangunan Arroyyan dengan bilik bambu medio 1997 sekelebat terlintas memenuhi isi kepala yang makin hari makin tipis berambut. Saya tahu, kenapa Arroyyan bambu lebih lama tinggal di memori. Pak Zainal, Pak Budi Wibowo dan Pak Hendro pernah menyenggol, “dulu semua orang butuh, semangat kebersamaannya ketika itu luar biasa pak.” Aha, kiranya semangat kebersamaan itulah yang mampu memberi ruh Arroyyan bambu? Hiyaa! Masjid yang sejati terbangun dalam nurani.
Kembali ke rumah. Entah mengapa saya teringat Gus Mus di Rembang. Dua minggu sebelum Soeharto jatuh, saya sempat berdiskusi mengenai maraknya masjid dibangun di sepanjang daerah miskin pantura Jawa. Saya hanya ingin tahu, bagaimana mungkin orang giat membangun masjid megah sementara sekelilingnya warga kesulitan mencari makan.
Ia menerangkan tentang pasokan dana dan sebagainya. Tapi yang menampar saya ketika itu, KH. Mustofa Bisri –nama lengkap Gus Mus, juga mengungkapkan keresahannya. Bahwa menjamurnya masjid dengan bentuk fisik yang serba megah di mana-mana, pada derajat tertentu, malah kian mengasingkan para jamaah untuk masuk ke dalamnya. "Masjid menjadi semakin tertutup, begitu pula para pengelolanya, eksklusif menikmati singgasananya".
Di balik kemegahannya, bayangan biaya pembangunan dan anggaran perawatan membuat khalayak sering dihinggapi semacam rasa sungkan, malu dan rendah diri untuk berlama-lama di dalamnya. “Makanya, wajar bila Nabi dalam sebuah haditsnya pernah menggambarkan bahwa salah satu tanda-tanda kiamat adalah gejala saling bermegah-megahan dalam membangun masjid,” kata Gus Mus suatu malam.
Satu sisi Gus Mus benar. Tapi Arroyyan bukan hanya membangun masjid. TPA dibawah bendera lembaga pendidikan dan koperasi dibawah bendera lembaga usaha katanya juga akan diakomodasi dalam bangunan itu. Jadi wajar saja membangun dengan menyedot ratusan juta. Tapi, secara imajiner, senyum Gus Mus malam ini seperti meledek.
Seorang kawan se komplek perumahan menyenggol lewat Yahoo! Messenger beberapa hari yang lalu. Kita tuh banci Pak. Kok gak fokus? Mau bangun apa sebenarnya kita ini? Seharusnya kita malu dengan Assalam di kampung depan itu. Struktur organisasi mereka simply, santai aja tuh mereka beragamanya.
Tetangga lain nimbrung. Pak, kenapa ya kita tidak serahkan sesuatu hal kepada ahlinya, kok kita malu mengakui kompetensi orang? Bukankah pendelegasian yang baik adalah kunci sukses seorang pemimpin? Saya buru-buru sign out, ingin segera pulang membungkam mulut mereka. Jikapun tidak, ingin rasanya menghajar pantat mereka untuk lebih berani mengutarakannya kepada yang berwenang. Ampun.
Cak Nun, jika saja mampu berhaji, saya bukan haji racun seperti yang sampean maklumkan. Ah, kenapa saya takabur begini rupa. Insya Allah tidak Cak. Minimal, saya punya modal, selalu membelikan kerabat maupun kenalan buku Menjadi Manusia Haji karangan Dr. Ali Syari’ati setiap kali mereka hendak berhaji. Saya ingat betul tentang telaah sosial dan filosofis yang ia gambarkan dalam ritual kolosal umat Islam tiap tahunnya. Rumah Tuhan adalah rumah umat manusia.
Farah Amini, karib sejawat di kantor, orang terakhir yang saya beri. Dia berumroh dua minggu lalu. Semalam dia menelpon dari kantor barunya di Menara Kadin, Kuningan. Berdiskusi dan melaporkan perjalanannya. "Minimal kini saya tahu Mas, kenapa Ka'bah tidak dibongkar!" Sebelumnya Pak Zainal, kawan saya ngopi di rumah dengan harapan agar ia segera berangkat.
Saya teringat ketika ayah berhaji, beberapa bulan sebelum saya menikah, saya menangis sejadinya karena buku itu. Berhaji berarti bersiap mati, sehingga setelah berhaji orang seperti dilahirkan kembali.
Ali Syari’ati dan sanak kerabat –NU atau Muhammadiyah atau apapun mazhabnya yang pernah berhaji bersepakat memberi kesaksian, drama monumental Haji adalah momentum yang pas dan kontekstual untuk menggugat kembali kesadaran manusia dalam pergaulannya dengan rumah Tuhan.
Pada hakekatnya, haji merupakan perjalanan ritual yang sepenuhnya tak bisa lepas dari nuansa kemanusiaan. Selain perjumpaan dengan pengalaman spiritual yang mengesankan, di dalamnya juga dipenuhi beragam ujian berupa rajukan setan yang selalu berusaha menggelincirkan setiap pelakunya. Haji adalah serangkaian perisitiwa dengan aneka makna. Ia bisa berupa sekadar kejadian biasa dalam dimensi yang sarat dengan hasrat dan denyut nadi kemanusiaan, juga bisa berwujud sederetan tragedi yang konyol, memukau, haru biru, kelabu dan bahkan lucu.
Pada titik ini, Alm. Navis dan Ikun, juga pengalaman kita semua di kampung halaman dan masa kecil, dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi dinamika dan penyadaran hidup keagamaan.
Sekali lagi Cak, jika saja saya berhaji, saya ingin menjadi bagian dari gempita kepasrahan kolosal yang membahana itu. Saya tahu, sebagai pelaku, saya terlibat untuk menyaksikan secara langsung napak tilas sejarah beserta situs peradaban yang bernilai religi itu.
Sebab, kata Ali Syari’ati, keberadaan Ka’bah atau Baitullah tak dapat disangkal merupakan simbol yang memiliki daya pikat paling kuat dibandingkan simbol-simbol yang lain. Selain sebagai kiblat shalat, Ka’bah merupakan lambang dari kekuatan tauhid – monoteisme, yang obornya dinyalakan oleh Ibrahim. Ia tidak hanya cukup didekati dengan cara berkeliling di sekitarnya. Lebih dari itu ia membutuhkan simpul tali keagamaan yang kuat dalam upayanya untuk mengakrabkan hubungan hamba dengan penciptanya. Bukan begitu Cak? Taraf kedekatan semacam inilah yang diidealkan pencapaiannya oleh para pelaku haji, sebagaimana telah dirasakan melalui ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy diatas.
Seketika saya ingin mengadu kegundahan kepada Suami Novia Kolopoking ini –kawan SMA adik saya. Tapi dia kini tengah sibuk mengadvokasi saudara-saudara korban Lapindo. Sekalipun sama-sama di Surabaya, saya begitu sulit menemuinya.
Saya tumpahkan kegundahan saya kepada Pak Arief Lukman Hakiem. Kawan sekantor yang berasal dari Madura. Jago masalah tanah dan pertanian, dan sempat beberapa tahun berguru di Jerman. Dua jam lebih kegundahan ini dan silang sengkarut pikiran tentang Arroyyan, Bojong, Navis dan Ikun saya pindahkan ke kepalanya.
“Mas tahu, apa yang dilakukan ketika Nabi pertama kali menginjakkan kaki di Yatsrib, sekarang Madinah?” tanyanya. Dengan gaya maduranya, dia menjawab sendiri. Pertama, sebelum Nabi Muhammad menginjakkan kakinya di Madinah, maka Beliau membangun masjid, yakni masjid Quba. Kedua, tindakan mendasar yang dilakukan oleh Nabi Muhammad --lelaki yang sangat bersahaja itu-- adalah menemui dan melayani fakir miskin.
Lalu Pak Arif?
“Dari dua pengalaman Rasulullah itu Mas, selama hidup seharusnya kita menyinggahi dengan memberdayakan masjid yang fungsi utamanya bukan sekadar tempat shalat. Tak perlu megah dan bermewah-mewah, menjadikannya rumah buat semua umat. Dan, menyantuni fakir miskin, anak yatim dan kaum tertindas. Keduanya adalah tempat seorang muslim diuji kebenaran komitmennya dalam mengemban amanat Sang Khalik.”
Bapak asal Sampang --belum berhaji, beranak dua yang baru saja pindah dari Surabaya ke Malang ini juga bercerita penuh semangat dengan kutipan isi buku Dr. Ali Syari'ati dalam memotret suasana kehadiran Rasulullah saat menginjak tanah Yatsrib.
“Mas Bin, kenapa Tuhan mengijinkan Ibrahim menguburkan istrinya, Siti Hajar yang mantan budak, berkulit hitam asal Ethiopia itu tepat di sisi Ka’bah?”
Masih dengan gaya maduranya ia menjawab sendiri. Tuhan sangat setuju dengan pembelaan terhadap orang-orang tertindas. Tuhan telah menorehkan simbol tauhid dan pembebasan. Tanggapan terhadap tangisan kaum tertindas adalah jawaban terhadap panggilan Allah. Mengabaikan tangisan kaum tertindas sama dengan mengabaikan panggilan Allah.
Lalu Pak Arief, pada perjalanan ke berapa saya mampu menangkap ungkapan Abu Yazid Al-Bustamy?
"Tidak mungkin Mas Bin. Pertama, kita semua belum bebas, minimal merdeka berpikir. Kedua, Anda hanya melakukan perjalanan Bojong-Surabaya-Malang pulang pergi saban minggunya."
Dasar Pak Arief!
Ala kulli haq, sampai ketemu, dimanapun.
dengan segala permaafan,
Surabaya - Malang
June, 27, 2007
If you are not a part of the solution, You are a part of the problem Berbahagialah mereka yang diamnya berfikir, memandangnya mengambil pelajaran, mendengarnya mengambil hikmah dan dalam tindakannya orang mengenal indahnya ajaran Islam.
Thursday, June 28, 2007
Friday, June 08, 2007
Piet Paaltjes
Oh, Spreek mij niet van liefde,
van vriendschap en van trouw
die zijn al sinds lang overleden
'k ben er al van in de rouw.
Ah, jangan bicara tentang cinta padaku
tentang persahabatan dan tentang kepercayaan
semua itu sudah lama mati
karenanya aku tenggelam dalam duka
Neen, spreek mij van 's menschen ellende
van al zijn kommer en nood
en hoe hij zijn broeders leven
verbitterd, dan lach ik mij dood
Jangan, bicara saja padaku tentang kesengsaraan manusia
tentang segala nestapa dan derita mereka
dan bagaimana kehidupan bersaudara mereka
hancur, maka aku akan tertawa terbahak-bahak!
van vriendschap en van trouw
die zijn al sinds lang overleden
'k ben er al van in de rouw.
Ah, jangan bicara tentang cinta padaku
tentang persahabatan dan tentang kepercayaan
semua itu sudah lama mati
karenanya aku tenggelam dalam duka
Neen, spreek mij van 's menschen ellende
van al zijn kommer en nood
en hoe hij zijn broeders leven
verbitterd, dan lach ik mij dood
Jangan, bicara saja padaku tentang kesengsaraan manusia
tentang segala nestapa dan derita mereka
dan bagaimana kehidupan bersaudara mereka
hancur, maka aku akan tertawa terbahak-bahak!
Thursday, June 07, 2007
Eenzaamheid
Eenzaamheid
(Jan van Nijlen)
De mens is eenzaam tot en met zijn dood
Nooit is ,,n liefde, nooit ,,n vriendschap klaar
en, zelfs geboren uit dezelfde schoot,
Zijn wij nog vreemden voor elkaar.
Wat weet ik van mijn zuster en mijn vader.
wat van mijn moeder en mijn eigen kind?
En is mijn vrouw mij altijd zoveel nader
Dan de arme meid voor 't eerst bemind?
Nooit kan een hart een ander overwinnen;
Van lief tot minnaar en van mens tot mens
Kunnen wij nooit geheel volmaakt beminnen;
Er is altijd een kloof, een grens.
't Is niet eens zeker dat de dood verenen
Kan wat het leven onmeedogend scheidt,
En er beestat niet, van Parijs tot Wenen,
Een koffiehuis 'In de Eenzaamheid'!
Kesepian
Manusia sendiri sampai mati
Tak pernah ada satupun cinta, tak pernah ada satupun persahabatan
Dan bahkan, terlahir dari lahir yang sama,
kita masih asing satu sama lain
apa yang kutahu tentang saudara perempuan atau ayahku,
tentang ibu dan anakku sendiri?
Dan apakah istriku selalu lebih dekat denganku
daripada Si gadis malang cinta pertamaku?
Tak pernah sebuah hati dapat memenangkan yang lain;
kesayangan hingga kekasih dan manusia hingga manusia
tak pernah bisa kita cintai secara utuh sempurna;
selalu ada jurang, ada batas
Tak pernah pasti bahwa kematian dapat menyatukan
apa yang dipisahkan hidup dengan kejam,
dan tak ada, dari Paris sampai Wina,
sebuah kedai kopi 'Dalam Kesepian'
(Jan van Nijlen)
De mens is eenzaam tot en met zijn dood
Nooit is ,,n liefde, nooit ,,n vriendschap klaar
en, zelfs geboren uit dezelfde schoot,
Zijn wij nog vreemden voor elkaar.
Wat weet ik van mijn zuster en mijn vader.
wat van mijn moeder en mijn eigen kind?
En is mijn vrouw mij altijd zoveel nader
Dan de arme meid voor 't eerst bemind?
Nooit kan een hart een ander overwinnen;
Van lief tot minnaar en van mens tot mens
Kunnen wij nooit geheel volmaakt beminnen;
Er is altijd een kloof, een grens.
't Is niet eens zeker dat de dood verenen
Kan wat het leven onmeedogend scheidt,
En er beestat niet, van Parijs tot Wenen,
Een koffiehuis 'In de Eenzaamheid'!
Kesepian
Manusia sendiri sampai mati
Tak pernah ada satupun cinta, tak pernah ada satupun persahabatan
Dan bahkan, terlahir dari lahir yang sama,
kita masih asing satu sama lain
apa yang kutahu tentang saudara perempuan atau ayahku,
tentang ibu dan anakku sendiri?
Dan apakah istriku selalu lebih dekat denganku
daripada Si gadis malang cinta pertamaku?
Tak pernah sebuah hati dapat memenangkan yang lain;
kesayangan hingga kekasih dan manusia hingga manusia
tak pernah bisa kita cintai secara utuh sempurna;
selalu ada jurang, ada batas
Tak pernah pasti bahwa kematian dapat menyatukan
apa yang dipisahkan hidup dengan kejam,
dan tak ada, dari Paris sampai Wina,
sebuah kedai kopi 'Dalam Kesepian'
Subscribe to:
Posts (Atom)
Popular Posts
-
Alhamdulillah, since the beginning of March 2011, I decided to close permanently my Facebook Account. So, for those who still miss me and wa...
-
Ini berdasarkan "true story", ketika saya memperpanjang STNK kendaraan jenis Sepeda Motor, pada hari Senin, 22 Oktober 2012 yang...
-
"Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya. Dimana pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan. Pengkhianat d...