Friday, July 23, 2004

Mimpi Si Midun

Mimpi Si Midun
Oleh : Agus Husni ( Republika Online )

Midun tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Badannya berkeringat. Napasnya tersengal-sengal. Ia mengusap mukanya sambil beristighfar beberapa kali. Mimpinya siang itu benar-benar menakutkan.

Ia bermimpi kotanya hancur ditelan pasang air laut yang sangat tinggi. Menara kota yang menjadi kebanggaan warga nyaris tenggelam. Tak sanggup menandingi ketinggian air. Beruntung, Midun sempat tersangkut di ujung menara emas yang mencuat hanya setengah meter dari permukaan air. Tak ada lagi gedung-gedung jangkung. Sejauh mata memandang hingga ke garis horison, hanya air dan air yang tampak.

Pemilu di negaranya telah dimenangkan oleh sebuah partai berlambang buaya karena koalisinya dengan partai besar lainnya berlambang luwak yang telah mengajarkan jurus-jurus korupsi yang aman dan nyaman, bagaimana mengatur pembagian kekuasaan untuk membangun jaringan bagi kepentingan partai itu sendiri, bukan untuk kepentingan rakyat. Rakyat cuma seonggok kotoran yang tak perlu dihitung lagi. Rakyat diperlukan cuma untuk basa-basi selama kampanye.

Partai Buaya tak kalah busuknya. Mereka sama dengan Partai Luwak. Partai yang tak lagi mempersoalkan batas-batas antara moral baik dan kebejatan. Tahu Tuhan, tetapi juga dekat dengan setan. Mengaku pembela rakyat, tapi merampok uang rakyat.

Pimpinannya bisa memelintir hukum untuk kepentingan politik. Ia bisa mengendalikan hukum karena perangkatnya dikuasai dari muara hingga ke hulunya. Para menteri tak lagi bekerja demi hati nurani. Meskipun tidak senang dengan sang pemimpin karena kualitasnya memang jauh di bawah rata-rata, sang menteri siap menelan ketidaksenangan itu demi kekuasaan. Sebab, berkuasa itu enak. Selalu dapat pelayan VVIP.

Kini keduanya bersatu. Buaya dan luwak. Dua-duanya punya kepentingan sama. Dua-duanya pakar di bidang KKN. Dua-duanya sangat profesional mengutik-utik hukum untuk kepentingan masing-masing. Dua maling bersatu tentu akan saling menjaga. Sebab, jika satu maling membeberkan keburukan temannya, maling
yang satu pasti juga akan tersinggung dan siap membeberkan kebusukan maling lainnya. Sesama maling tak boleh saling mendahului, kata pepatah.

Partai Luwak yang sudah berkuasa lama telah memberikan begitu banyak kekayaan dan kemudahan kepada para elite politiknya. Begitu juga dengan Partai Buaya. Jadi untuk amannya, mereka meneriakkan pemberantasan korupsi hanya sebagai bualan, hanya lelucon. Korupsi akan dibasmi jika tidak menguntungkan partai. Jika menguntungkan? Jalan terus.

Wajar jika banyak kasus korupsi besar yang dilakukan orang Partai Luwak atau Partai Buaya lolos dari jerat hukum. Secara kasat mata saja, Midun menyaksikan begitu banyak mobil dan motor mewah, tekstil, daging sapi, daging ayam, dan gula pasir selundupan yang ditahan. Banyak penelikung uang rakyat yang disimpan di bank masih bebas melenggang kangkung di luar negeri. Namun, mana pengadilan untuk mereka? Sulitkah mencari mereka? Tidak. Yang sulit adalah bagaimana mengamankan orang-orang itu agar tidak buka mulut. Jadi petiskan saja, toh rakyat sudah terbiasa menyaksikan kebobrokan ini sebagai tontotan yang menyenangkan. Sebab, terbukti rakyat juga sudah suka dan hobi korupsi.

Rakyat tahu dan sadar betul ada pemimpin yang jauh lebih baik dari pemimpin yang mengelola negaranya saat ini. Kualitasnya 'top'. Tapi, toh rakyat memilih pemimpin yang terburuk. Mengapa? Karena rakyat juga berkepentingan. Rakyat tak menghendaki korupsi dihapus, rakyat tak menghendaki dipimpin dengan aturan hukum yang jelas dan tegas. Rakyat masih mau hidup seperti masa lalu. Mudah cari uang. Nodong sedikit dengan menjadi tukang parkir, jadi preman taksi di bandara, menyerobot lahan membuka lapak PKL, atau menjadi tukang palak dan preman, sudah dapat makan. Gampang bukan? Dan, bagi pegawai negeri aturan hukum yang jelas hanya akan mengurangi kesempatan menjadi kaya. Sebab, tanpa aturan jelas mereka bisa menentukan komisi proyek, uang pelintiran pasal-pasal hukum, atau menerima jasa sebagai perantara untuk memberikan upeti atau mencari lobi dalam pencalonan bupati atau kepala daerah.

Semua itu berjalan seperti tanpa hambatan. Kini dua partai besar yang punya track record buruk bersatu memimpin negaranya. Dua maling besar bersatu membagi-bagi kue milik rakyat banyak. Midun tak habis pikir, mengapa rakyat masih tetap bodoh. Tuhan tak akan
mengubah nasib suatu bangsa jika bangsa itu tak mengubah nasibnya sendiri. Kini rakyat bukan hanya tak mau mengubah nasibnya dengan memilih pemimpin yang amanah, cerdas, dan sederhana, malah menjebloskan dirinya ke tangan orang-orang yang salah.

Mudah-mudahan Tuhan memberikan balasan setimpal atas kekeringan hati nurani bangsanya. Tuhan mendengarkan doa Midun. Lalu, Ia mendatangkan banjir yang menyapu bersih seluruh kota. Kekotoran itu habis karena sapu Tuhan bersih. Tuhan sudah empet melihat bangsanya yang tetap saja tak mau mengubah nasibnya. Untung banjir itu cuma mimpi. Untung tak ada Partai Buaya dan Partai Luwak. Midun mengusap keringatnya. Di luar rekan-rekan senasibnya telah menunggunya untuk memulung di belantara Ibu Kota.

No comments:

Popular Posts