Kompas, 18 September 2003
Radikalisme Harus Dikaitkan dengan Perjuangan Keadilan
Jakarta, Kompas - Masyarakat harus membedakan gerakan militan dan radikalisme dengan basis agama karena keduanya memang berbeda. Berbeda dengan gerakan militan yang bercitra negatif-seperti keras, ekstrem, dan tidak toleran-radikalisme dengan basis agama seharusnya dikaitkan dengan perjuangan penegakan keadilan dan perlawanan terhadap status quo pelestari ketidakadilan itu.
Demikian dikemukakan Dr Farish Noor dalam diskusi "Islamism and the Challenges of Progressive Islam in Indonesia, Malaysia, and Pakistan" yang diselenggarakan International Center for Islam and Pluralism (ICIP) di Jakarta, Rabu (17/9). Farish adalah intelektual muda Malaysia yang menjadi peneliti di Centre for Modern Orient Studies di Jerman.
"Radikalisme harus dibedakan dengan gerakan militan. Radikalisme yang salah satunya mewujud dalam gerakan Islam progresif justru tidak berbahaya karena tidak menggunakan kekerasan sebagai cara. Sifatnya yang radikal akan mempersoalkan status quo, ketidakadilan global, dan relasi kuasa yang tidak adil di dunia," ujar Farish.
Menurut dia, semua pembaru adalah tokoh radikal yang ide dan pemikirannya bertentangan dengan penguasa dan sistem yang diterapkan dalam sebuah wilayah. Farish menyebut semua tokoh keagamaan, mulai dari Sidharta Gautama atau Buddha, Nabi Isa atau Yesus Kristus, dan Nabi Muhammad SAW, adalah tokoh radikal pada zamannya.
"Mereka semua adalah tokoh dari sebuah gerakan radikal. Tetapi, apakah gerakan itu berbahaya bagi rakyat kebanyakan? Mereka secara radikal menolaksistem yang menindas. Radikalisme macam ini yang harus kita warisi dan kita teruskan untuk tata dunia yang lebih adil," ujar Farish Noor, intelektual muda dari Malaysia itu.
Dalam upaya membuat pembedaan antara radikalisme dan gerakan militan, Farish memberi contoh sosok Osama bin Laden dan apa yang dilakukan pemimpin Al Qaeda itu.
"Osama bin Laden adalah boneka. Dia bukan tokoh radikal karena justru menyuburkan pandangan dan citra negatif tentang Islam yang telanjur tertanam secara keliru selama ratusan tahun," jelasnya.
Tidak peduli cap
Diskusi terbatas tersebut menghadirkan juga Dr Hidayat Nurwahid, Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera dan dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Dalam tanggapannya atas apa yang dipaparkan Farish, Hidayat mengatakan tidak menaruh kepedulian terhadap sejumlah cap, seperti militan, progresif, atau radikal.
"Dalam setiap hal yang saya lakukan, apakah memimpin aksi demonstrasi di jalan, mendatangi pimpinan DPR, menyampaikan wacana di media, tidak pernah terpikir dalam benak saya cap apa yang diberikan kepada saya. Yang penting, rakyat kebanyakan harus kita bela, tidak peduli cap apa pun yang diberikan orang," ujarnya.
Hidayat, yang kerap turun langsung di jalanan untuk memimpin aksi damai dengan ribuan massa, menyayangkan berkembangnya informasi populer tentang Islam yang tidak akurat dan cenderung keliru.
"Agama jangan terus-menerus dipolitisir. Agama harus berperan untuk memberdayakan masyarakat," paparnya.
Hindarkan represi
Mengenai gerakan militan yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara yang terkait dengan sejumlah aksi terorisme, Farish mengusulkan agar aparat keamanan menghindarkan pendekatan represif untuk mengatasinya. Pendekatan represif justru akan memperkuat identitas dan militansi kelompok tersebut.
Farish tidak menampik kemungkinan adanya pihak asing dalam upaya memunculkan citra negatif mengenai Islam untuk kepentingan pihak asing tersebut. Penyebaran citra negatif ini ditempuh juga di Cina untuk menanamkan kepentingan pihak asing di Cina. Cina dicitrakan tidak demokratis, represif, dan tidak mengindahkan hak asasi manusia (HAM).
"Para pemikir dan ahli politik Islam harus waspada. Jangan memberi kesempatan bagi pihak mana pun untuk memberi stereotip keliru dan citra negatif tentang Islam. Jangan sampai terjebak dalam kepentingan mereka," ujar Farish. (INU)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/18/nasional/569246.htm
Radikalisme Harus Dikaitkan dengan Perjuangan Keadilan
Jakarta, Kompas - Masyarakat harus membedakan gerakan militan dan radikalisme dengan basis agama karena keduanya memang berbeda. Berbeda dengan gerakan militan yang bercitra negatif-seperti keras, ekstrem, dan tidak toleran-radikalisme dengan basis agama seharusnya dikaitkan dengan perjuangan penegakan keadilan dan perlawanan terhadap status quo pelestari ketidakadilan itu.
Demikian dikemukakan Dr Farish Noor dalam diskusi "Islamism and the Challenges of Progressive Islam in Indonesia, Malaysia, and Pakistan" yang diselenggarakan International Center for Islam and Pluralism (ICIP) di Jakarta, Rabu (17/9). Farish adalah intelektual muda Malaysia yang menjadi peneliti di Centre for Modern Orient Studies di Jerman.
"Radikalisme harus dibedakan dengan gerakan militan. Radikalisme yang salah satunya mewujud dalam gerakan Islam progresif justru tidak berbahaya karena tidak menggunakan kekerasan sebagai cara. Sifatnya yang radikal akan mempersoalkan status quo, ketidakadilan global, dan relasi kuasa yang tidak adil di dunia," ujar Farish.
Menurut dia, semua pembaru adalah tokoh radikal yang ide dan pemikirannya bertentangan dengan penguasa dan sistem yang diterapkan dalam sebuah wilayah. Farish menyebut semua tokoh keagamaan, mulai dari Sidharta Gautama atau Buddha, Nabi Isa atau Yesus Kristus, dan Nabi Muhammad SAW, adalah tokoh radikal pada zamannya.
"Mereka semua adalah tokoh dari sebuah gerakan radikal. Tetapi, apakah gerakan itu berbahaya bagi rakyat kebanyakan? Mereka secara radikal menolaksistem yang menindas. Radikalisme macam ini yang harus kita warisi dan kita teruskan untuk tata dunia yang lebih adil," ujar Farish Noor, intelektual muda dari Malaysia itu.
Dalam upaya membuat pembedaan antara radikalisme dan gerakan militan, Farish memberi contoh sosok Osama bin Laden dan apa yang dilakukan pemimpin Al Qaeda itu.
"Osama bin Laden adalah boneka. Dia bukan tokoh radikal karena justru menyuburkan pandangan dan citra negatif tentang Islam yang telanjur tertanam secara keliru selama ratusan tahun," jelasnya.
Tidak peduli cap
Diskusi terbatas tersebut menghadirkan juga Dr Hidayat Nurwahid, Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera dan dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Dalam tanggapannya atas apa yang dipaparkan Farish, Hidayat mengatakan tidak menaruh kepedulian terhadap sejumlah cap, seperti militan, progresif, atau radikal.
"Dalam setiap hal yang saya lakukan, apakah memimpin aksi demonstrasi di jalan, mendatangi pimpinan DPR, menyampaikan wacana di media, tidak pernah terpikir dalam benak saya cap apa yang diberikan kepada saya. Yang penting, rakyat kebanyakan harus kita bela, tidak peduli cap apa pun yang diberikan orang," ujarnya.
Hidayat, yang kerap turun langsung di jalanan untuk memimpin aksi damai dengan ribuan massa, menyayangkan berkembangnya informasi populer tentang Islam yang tidak akurat dan cenderung keliru.
"Agama jangan terus-menerus dipolitisir. Agama harus berperan untuk memberdayakan masyarakat," paparnya.
Hindarkan represi
Mengenai gerakan militan yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara yang terkait dengan sejumlah aksi terorisme, Farish mengusulkan agar aparat keamanan menghindarkan pendekatan represif untuk mengatasinya. Pendekatan represif justru akan memperkuat identitas dan militansi kelompok tersebut.
Farish tidak menampik kemungkinan adanya pihak asing dalam upaya memunculkan citra negatif mengenai Islam untuk kepentingan pihak asing tersebut. Penyebaran citra negatif ini ditempuh juga di Cina untuk menanamkan kepentingan pihak asing di Cina. Cina dicitrakan tidak demokratis, represif, dan tidak mengindahkan hak asasi manusia (HAM).
"Para pemikir dan ahli politik Islam harus waspada. Jangan memberi kesempatan bagi pihak mana pun untuk memberi stereotip keliru dan citra negatif tentang Islam. Jangan sampai terjebak dalam kepentingan mereka," ujar Farish. (INU)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/18/nasional/569246.htm
No comments:
Post a Comment